Pengangguran Terdidik (1)
Fenomena pengangguran terdidik perlu mendapat perhatian serius dunia pendidikan dan dunia usaha. Pendidikan yang tinggi ditengarai tidak menghasilkan seseorang yang lebih berani mengambil risiko, justru mereka memilih menganggur daripada mengambil risiko. Di sisi lain, kualifikasi yang diminta perusahaan ternyata lebih banyak tidak dihasilkan dari pendidikan formal di bangku sekolah, tetapi dari kreativitas individu. Tak adanya link and match antara dunia pendidikan dan dunia usaha ini diperparah dengan sikap industri yang tak terlalu hirau pada peningkatan sumber daya manusia bangsa secara umum.
Makin Tinggi Pendidikan Makin Gampang Menganggur Jakarta, Kompas - Fenomena ironis yang muncul di dunia pendidikan adalah semakin tinggi pendidikan seseorang, probabilitas atau kemungkinan dia menjadi penganggur pun semakin tinggi. Fenomena ini perlu mendapat perhatian serius dari dunia pendidikan dan industri. Hal itu dikatakan pengamat pendidikan Darmaningtyas, Jumat (8/2). Menurut dia, hal itu melahirkan paradoks: dunia usaha mengeluhkan sulit mendapat tenaga kerja, di sisi lain lulusan sekolah dan perguruan tinggi kesulitan mendapat pekerjaan. ”Terlebih ada kecenderungan, semakin tinggi tingkat pendidikan semakin besar keinginan mendapat pekerjaan yang aman. Mereka tak berani ambil pekerjaan berisiko seperti wiraswasta, trainer, atau penulis. Mereka pilih menganggur,” ujarnya. Terbatasnya daya serap tenaga kerja sektor formal di satu pihak, dan di pihak lain terjadi percepatan pertambahan tenaga terdidik, juga menyebabkan posisi tawar sarjana di Indonesia amat rendah. Posisi para pencari kerja lulusan perguruan tinggi berada pada posisi dilematis; diterima dengan gaji rendah atau menolak pekerjaan dengan risiko menganggur. Mereka yang realistis memilih bekerja dengan gaji rendah daripada idealis namun menganggur selamanya. Darmaningtyas melakukan studi kasus pada iklan lowongan kerja di harian Kompas Minggu, 6 Januari 2008. Ada 405 lowongan pekerjaan, 4,19 persen mensyaratkan indeks prestasi minimum, lainnya menekankan pada kemampuan kerja individu dan tim, kemampuan berbahasa asing, terutama Inggris, kemampuan mengoperasikan program komputer, kemampuan berkomunikasi, dan pengalaman kerja. ”Itu justru tak diperoleh secara formal di bangku sekolah, sebaliknya didapat dari inisiatif dan kreativitas individu. Individu kreatif cenderung memiliki tingkat keberhasilan tinggi,” ujarnya. Lembaga pendidikan cenderung mengajarkan hafalan, kurang melihat konteks. Hal-hal seperti membangun jaringan, kreativitas, dan komunikasi kurang didapat dari sekolah. Pengamat pendidikan Prof Winarno Surachmad menambahkan, jurang antara lulusan perguruan tinggi dan dunia kerja adalah isu lama. Dia melihat hal itu lebih disebabkan tak adanya link and match dunia pendidikan dan usaha. Pemberi pekerjaan (industri) pun tak terlalu hirau pada peningkatan sumber daya manusia bangsa secara umum. (INE) Sumber: Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar