Sabtu, 12 Desember 2009

Masa Depan Itu Miliknya Sang Pemberani, Inovatif, dan Punya Jiwa Wirausaha

Masa Depan Itu

Miliknya Sang Pemberani, Inovatif, dan Punya Jiwa Wirausaha

Wah, dunia usaha berkembang pesat! Begitu mungkin, kata-kata yang Anda lontarkan, andai Anda “orang baru” dalam sebuah bidang usaha. Kian dalam, Anda masuki dan dalami sebuah bidang bisnis, kian banyaklah hal baru yang Anda lihat. Apa yang lima tahun lalu belum ada, saat ini sudah begitu massal dan eksis di tengah-tengah masyarakat. Bahkan, kejayaan yang diraih pengusaha semasa orangtua kita, dalam perjalanan waktu, mejadi “bisnis kuno” yang tersisa kejayaannya dalam kisah-kisah belaka, karena the real bussiness mereka sudah tumbang atau sedang diambang kehancuran. Sudah muncul wirausahawan baru, dengan jurus-jurus barunya yang mulai merajai bidang usaha yang ditanganinya. Usahawan seperti apa, yang berkesanggupan membangun dan mengelola kebaruan demi kebaruan seperti itu? Pasti, ia termasuk pribadi yang gigih, wawasannya luas, kemauannya besar.

Kita juga belum melihat di Indonesia sendiri ada organisasi bisnis yang cukup tangguh merespon kebaruan. Bahkan, peluang-peluang baru, sering lewat begitu saja karena kita belum mampu meresponnya secara baik. Tidak dipungkiri, tantangan pasar lokal maupun global dengan permintaan, selalu meningkat. Pada sisi lain - selain kebaruan-kebaruan dalam bisnis - semangat memberi layanan terbaik berikut inovasi dalam segi pelayanannya, juga berkembang pesat. Siapa bisa mewujudkan idealitas seperti itu, dan sanggup merespon kebaruan, sekaligus kreatif-inovatif di sisi pemberian pelayanan, akan sukses.

Masa depan menjadi milik mereka yang tidak kenal takut, inovatif, yang mengenali betapa pentingnya mengembangkan kepemimpinan wirausaha dalam organisasinya.Jangan lalai meluangkan waktu untuk belajar, menulis, meneliti, memberikan saran, konsultasi, dan terus belajar. Organisasi-organisasi terdepan dunia, tak henti melakukan itu. Kami percaya sepenuhnya pada prinsip bahwa cara terbaik untuk melayani diri Anda, untuk berjuang menjadi yang terbaik yang Anda bisa, adalah dengan cara melayani orang lain. Ada tiga hal yang ingin kami ungkap dalam konteks ini.

Pertama, meski dalam skala yang lebih sederhana, kami memiliki kesempatan untuk belajar melayani yang lain, bersikap kreatif, memimpin yang lain, dan menyelesaikan apa yang kami mulai. Dalam proses itu, yang berangsur luluh dalam pembelajaran, ”bagaimana untuk bertahan hidup” (to get by), daripada untuk membangun kebersamaan (to get on).

Mungkin saat paling kritis yang terpenting dari proses pertumbuhan kami sesungguhnya adalah bersikap kritis. Seringkali terlalu sering kita menjadi lebih ahli dalam menunjuk apa yang salah dari suatu pendapat, daripada yang benar. Karena kita terbiasa berusaha keras untuk bertingkah laku dengan cara yang konsisten dengan apa yang membuat kita merasa nyaman, kita menerapkan cara pandang kritis yang sama terhadap ide-ide baru, inovasi baru dan kreativitas. Segala bentuk dari ‘pemikiran kewirausahaan’ atau ‘kepemimpinan inovatif’ dalam pandangan kita yang terkondisi, justru kerap dianggap: ”sebaiknya dihindari”.

Kurangnya pemikiran kewirausahaan ini berakibat serius. Pertemuan demi pertemuan dalam organisasi bisnis, terlalu banyak berisi ”wacana”, tidak banyak menghasilkan sesuatu yang konkret. Kegagalan wirausahawan, kendati secara kumulatif “sukses” adalah, ketika ditelusuri bagian demi bagian, ditemukan bagian-bagian yang kurang bahkan tidak sukses! Ada sukses besar yang mensubsidi kegagalan bagian tertentu dalam organisasi bisnis yang bersangkutan. Yang parah, kegagalan bagian-bagian tertentu yang “tertutupi” sukses kumulatif organisasi, tak banyak dipersoalkan, atau lalai dipersoalkan. Padahal, ini tidak boleh dibiarkan, karena tidak selamanya sukses kumulatif itu bisa diraih. Sebaliknya, sebuah kegagalan di beberapa bagian, berakibat merusak strategi pencapaian totalitas sukses organisasi.

Kalau diungkapkan dalam momentum yang tepat, dengan cara yang juga tepat, biasanya sebagian besar dari mereka setuju. Dan tindakan kecil namun penting (tapi tidak ditindak lanjuti sehingga terlupakan selamanya) yang didiskusikan dalam pertemuan tim sampai dengan pesan-pesan strategis yang disampaikan melalui pertemuan pleno yang mahal (namun tidak diteruskan sehingga tetap tinggal sebagai pesan yang tidak terkomunikasikan), terlalu banyak penggerak bisnis yang sangat terlatih ternyata bertolak dari pengalaman berpikir dan bertindak sederhana sebagai orang upahan! Anda bisa bertanya, apa salahnya dengan ”orang upahan”.

Bersiaplah mendengar sesuatu yang pedas. Orang-orang semacam ini, hanya mengecewakan apa yang mereka percayai dari instruksi, peran atau tanggung jawab pekerjaan yang diharapkan dari mereka. Tentunya itu dengan persepsi mereka sendiri. Salah satu dari prinsip yang ada dalam buku ini, belajar berpikir kewirausahaan (sebagai wirausaha) daripada kekaryawanan (sebagai karyawan).

Hal yang ketiga, kami terheran-heran selama bertahun-tahun pada jawaban yang saya terima terhadap pertanyaan sederhana yang ditujukan pada lulusan yang cemerlang dan manajer yang sangat berpengalaman, seperti: ‘Mengapa suatu organisasi mempekerjakan Anda?’. Jawabannya bervariasi dari: ”Karena saya memiliki CV/ MBA/ gelar/pengalaman/ pendidikan/latarbelakang/dll. yang baik” sampai dengan: ”Saya dapat mengelola orang/administrasi/sistem kontrol, dll. dengan baik yang berkaitan dengan kebutuhan yang normal.” Padahal, perlu kami tegaskan, suatu organisasi tidak, sebaiknya tidak pada tingkat mana pun, mempekerjakan karyawan dengan kualifikasi tinggi atau berpengalaman baik karena kualifikasi atau pengalaman mereka.

Kalau bukan demikian, lalui apa? Suatu bisnis beroperasi secara sukses ketika dia memberikan hasil yang terukur dan meningkat melalui produk dan layanannya. Sukses suatu bisnis memerlukan tujuh ‘In’ dari eksekutif yang ada:

1. Insight (wawasan) tentang seperti apa masa depan nantinya

2. lntuisi untuk membuat keputusan yang benar

3. Inisiatif untuk bertindak efektif

4. Inovasi untuk mencipta secara berbeda

5. lntegritas untuk mengikuti dengan tekun dan dengan benar

6. lndividualitas untuk menerima kepemilikan

7. Interdependensi untuk menetapkan hal-hal di atas sebagai rekan dalam suatu tim

Organisasi bisnis (bahkan organisasi apapun) perlu serius mengembangkan sumber daya insaninya. Ini kunci mengoptimalkan potensi kreatif, daya inisiatif dan kepemimpinan. Sukses organisasi bisnis di masa depan, dimulai dari ikhtiar simultan pengembangan kepemimpinan kewirausahaan hari ini. Tak ada yang “terlalu dini” dalam urusan pengembangan kepemimpinan, karena dari kepemimpinan yang antisipatif, visoner, bisa dibangun sukses di masa depan.

Disraeli bilang, “Perubahan, adalah sesuatu yang konstan”. Namun hanya sedikit organisasi mapan yang sungguh-sungguh mengakui makna sesungguhnya pernyataan ini, walaupun perubahan bujet sering kali lebih besar daripada keuntungan dari beberapa organisasi, bahkan di sejumlah negara kecil. Rasa puas profesional, kurangnya inovasi dan penghindaran rasa memiliki tidak dapat lagi diperkenankan menyebar dalam bisnis seperti saat ini. Organisasi yang berupaya untuk menghasilkan pertumbuhan positif bagi semua stakeholder yang terlibat, harus mengembangkan keseimbangan nyata antara pemikiran kewirausahaan dan struktur mapan mereka.

Di dalam arena bisnis, hanya sedikit model bisnis yang relevan pada saat ini, baik di tingkat lokal maupun global. Mungkin model yang paling sesuai adalah sebuah gyroskop yang berputar karena kemampuannya untuk tetap seimbang tanpa memperhatikan sudut dan arah. Model semacam ini, sebagai contoh, memastikan bahwa planet yang kita diami menjaga keseimbangan sempurna dari jagad raya. Di lain pihak tanggapan negatif pada suatu gyroskop merupakan suatu proyektil peluru terhadap keseimbangan dan terarah pada sasaran. Model semacam ini yang konstan, namun tetap bergerak, adalah penggambaran yang sempuma untuk penciptaan budaya wirausaha dalam suatu organisasi yang mapan. Dengan setiap arah strategis, seluruh perusahaan bergerak sembari mempertahankan keseimbangan.

Suatu organisasi harus secara penuh memiliki tanggungjawab untuk mengembangkan sumber daya manusianya, dan pada gilirannya potensi kreativitas, inisiatif dan kepemimpinannya mencapai prestasi optimalnya. Organisasi yang ingin mencapai sukses besok akan mengembangkan kepemimpinan kewirausahaan pada hari ini.

Bab-bab selanjutnya secara berurutan menunjukan bagaimana menciptakan organisasi wirausaha karena masa depan menjadi milik mereka yang: Pemberani, Inovator, dan Punya Jiwa Wirausaha

Apa yang disebut resiko ?

Apa yang disebut resiko ?

Seorang mahasiswa menjawab :

Menjadi entrepreneur !

Teman-teman mahasiswanya setuju. Kemudian profesor tadi menjawab pertanyaannya sendiri dengan mengutip ucapan seorang entrepreneur :

"Apa yang disebut risiko " Mempunyai satu sumber penghasilan. Karyawan menghadapi risiko….Mereka mempunyai satu sumber penghasilan. Bagaimana kalau entrepreneur yang menjual jasa menjaga rumah kepada majikan Anda ? Dia mempuunyai ratusan pelanggan….ratusan sumber pengahasilan."

Untuk menjadi pemilik bisnis juga diperlukan agar Anda mempunyai kemauan yang kuat untuk bekerja sendiri. Bila Anda tida suka berada di luar lingkngan korporasi, entrepreneur mungkin bukan panggian Anda. Para pemilik bisnis paling sukses memiliki satu karakteristik yang sama : Mereka semua suka pada apa yang mereka lakukan. Mereka semua bangga dengan "bekerja sendiri".

Banyak diantara para entrepreneur sukses yang sebelumnya adalah karyawan diperusahaan tempatnya bekerja kemudian sukses membangun usahanya sendiri. Baru-baru ini saya menjumpai seorang kawan yang baru satu tahun memulai bisnis jasa pelatihan. Sebelumnya ia bekerja sebagai manajer SDM pada bank terkemuka di Jakarta dengan gaji mendekati Rp.10 juta perbulan. Dia mengetahui anggaran pelatihan untuk perusahaan tersebut besarnya 20 miliar setahun. Dengan semangat entrepreneur serta melihat peluang yang ada ia menggundurkan diri dan mempromosikan anak buah kepercayaannya sebagai penggantinya. Ia kemudian mendirikan perusahaan yang bergerak dibidang pelatihan. Dan dapat Anda tebak siapa pelanggan pertamanya ? Dan dari siapa ia mendapatkan proyek tersebut ? Ya perusahaan tempatnya bekerja dan dari orang kepercayaannya, Kalau sebelumnya pengahasilannya Rp. 10 juta sebulan, sekarang hampir Rp.20 miliar anggaran pelatihan bank tersebut masuk ke kocek perusahaannya. Itulah entreperneur.

Rabu, 02 Desember 2009

WIRAUSAHA-ENTREPRENEUR

Jadi, maksud dari kata wiraswasta adalah, mewujudkan aspirasi kehidupan berusaha yang mandiri dengan landasan keyakinan dan watak yang luhur. Lebih spesifiknya, kaum wiraswastawan sejati adalah mereka yang berani memutuskan untuk bersikap, berpikir dan bertindak secara mandiri, mencari nafkah dan berkarir dengan jalan berusaha di atas kemampuan sendiri, dengan cara yang jujur dan adil, jauh dari sifat-sifat keserakahan dan kecurangan.
Definisi di atas tidak membatasi bahwa wiraswastawan harus seorang yang menjalankan perusahaan milik sendiri. Dengan demikian kewiraswastaan berlaku di lingkungan manapun, termasuk koperasi, BUMN, pengusaha kaki lima, makelar bahkan di lingkungan karyawan sekalipun. Sebab apa? Karena kaum profesional yang status formalnya adalah seorang karyawan, pada hakikatnya merupakan seorang wiraswastawan juga, karena mereka bekerja dengan menjual “leadership”, atas dasar kemitraan bisnis yang adil dan saling menguntungkan, dan bukan atas dasar keinginan untuk “menumpang hidup” semata. Para distributor dari sebuah perusahaan multi-level-marketing, sebagaimana agen-agen asuransi, juga merupakan pribadi-pribadi yang berusaha secara mandiri dan mereka berwiraswasta. Beberapa perusahaan yang telah maju ternyata juga didirikan oleh para mantan karyawan yang memiliki naluri kewiraswastaan. Hal ini menguatkan bukti bahwa nilai-nilai kewiraswastaan memang ada dimana-mana. Hanya saja, kewirawastaan ada yang kelihatan secara jelas, ada yang tersembunyi.
Betapa pun saya menyambut baik munculnya berbagai istilah alternatif, karena hal tersebut dengan sendirinya akan memperkaya khasanah kosakata bahasa Indonesia yang masih memerlukan pembinaan-pembinaan lebih jauh. Sebab itu, dalam situs ini akan dipergunakan istilah “wiraswasta” dan “wirausaha” secara silih berganti, agar tidak menimbulkan kejenuhan.
Beberapa aktivitas yang memiliki kandungan nilai kewirausahaan, baik yang jelas maupun yang tersembunyi bisa dicontohkan sebagai berikut :

1). Pengusaha-pengusaha “kantoran” yang menjalankan perusahaan milik sendiri atau bermitra. Baik dari kelas pengusaha besar, menengah ataupun kecil.
2). Pengusaha-pengusaha seperti pedagang kaki lima, warung nasi, restoran, toko klontong, bengkel, salon dan lain-lain.
3). Pengusaha candak kulak, seperti bakul jamu, tukang bakso pikul/grobak, dan lain sebagaiya.
4). Pengurus dan anggota-anggota koperasi.
5). Tokoh-tokoh pemasaran, seperti para direktur dan manajer pemasaran, sales representative, business representative, salesmen/girl door to door.
6). Para distributor multi-level-marketing serta para agen asuransi.
7). Tokoh-tokoh profesi seperti dokter, pengacara, notaris, konsultan yang membuka praktik sendiri, sampai supir taksi.
8). Mereka yang menjalankan bisnis sambilan, tanpa melecehkan pekerjaan utamanya sebagai karyawan.
9). Para karyawan, yang sambil bekerja, berusaha mengumpulkan modal dan belajar untuk mempersiapkan diri menjadi pengusaha nantinya.
10). Para makelar yang jujur.
11). Kaum profesional yang menjual leadership pada perusahaan-perusahaan besar mulai dari yang menjabat sebagai presiden direktur, direktur atau manajer.
12). Pekerja free-lance, instruktur-instruktur aerobik, pelatih olahraga yang bekerja waktu penuh.

HIDUP MEMANG HARUS KERJA KERAS &SUKSES

Saya sedang melongok-longok blog Saya sendiri. Anak-anak sudah tidur sehingga "dunia" sudah cukup tenang buat Saya untuk lebih berkonsentrasi. Istri Saya datang mengantar minuman. Diletakkannya cangkir, kemudian menarik kursi dan duduk di samping Saya. Satu menit kemudian ia bertanya tentang flag atau sub header di blog Saya yang bunyinya, "Saya Ingin Anda Sukses. Saya Harus Membuat Anda Sukses."



Tahukah Anda, bahwa sukses Anda sangat tergantung pada sesuatu di luar diri Anda? Nah lho! Pak Sopa ini gimana toh, kemarin bilang bahwa sukses adanya di dalam diri sendiri. Jennie S. Bev bahkan bilang bahwa Sayalah sukses itu. Kok sekarang jadi lain lagi?

Tidak. Tidak lain. Ini hanyalah soal cara pandang. Mari kita telusuri, dan ingatlah bahwa ini erat hubungannya dengan konsep mastermind dan mind power.

Sukses Anda tergantung pada suksesnya "sesuatu" di luar Anda. Sesuatu itu bisa orang lain, atau memang "sesuatu" saja di luar sana. Sesuatu di luar Anda itu bisa benda hidup atau benda mati. Intinya, sesuatu itu adanya pasti di luar "Anda".

Jika Anda pegawai atau karyawan, bagaimanakah Anda mencapai sukses? Bagaimana caranya mendapatkan promosi? Apa yang perlu Anda lakukan agar karir Anda melejit sampai ke puncak? Apa yang perlu Anda capai agar Anda mencapai kesuksesan sebagai pegawai atau karyawan?

Pertama, Anda perlu mensukseskan tugas dan pekerjaan Anda. Kedua, Anda perlu mensukseskan program organisasi atau perusahaan Anda. Ketiga, Anda perlu mensukseskan boss Anda. Keempat, Anda perlu mensukseskan organisasi atau perusahaan Anda. Setelah itu, barulah Anda bisa sukses.

Jika Anda manager, apa yang Anda perlukan agar Anda bisa sukses sebagai manager?

Anda harus mensukseskan anak buah Anda.

Jika Anda guru, dosen, trainer, coach, mentor, atau motivator, apa yang Anda perlukan agar Anda bisa sukses sebagai profesional di bidang-bidang itu?

Anda harus mensukseskan murid, siswa, dan trainee Anda. Saat mereka keluar dari ruangan kelas, merekalah yang harus merasa sukses, bukan Anda. Setelah itu, barulah Anda bisa disebut sebagai pembina dan pendidik yang sukses.

Jika Anda pengusaha yang memproduksi sepatu, apa yang Anda perlukan agar Anda bisa disebut sebagai pengusaha sukses?

Anda perlu mensukseskan sepatu Anda, agar menjadi sepatu pilihan. Sepatu yang diminati, digemari, dicari, dan dibeli. Jika itu berhasil dicapai, maka barulah Anda disebut pengusaha sukses.

Jika Anda penjual bakso? Ya Anda harus mensukseskan bakso Anda terlebih dahulu, barulah Anda bisa disebut sebagai pedagang bakso yang sukses.

Jika Anda penulis? Anda harus menjadikan buku Anda sukses, misalnya dengan menjadi best seller. Barulah di belakangnya, Anda akan disebut penulis sukses.

Jika Anda petani buah jeruk?

Pertama Anda harus mensukseskan bibit jeruk Anda untuk terus bertahan hidup dan selamat dari segala penyakit dan hama. Kedua, Anda harus mensukseskannya untuk berbuah. Ketiga, Anda harus mensukseskannya untuk bisa bertahan sampai masak di pohon supaya kualitasnya paling baik. Bahkan, Anda juga harus mensukseskan rasanya agar manis dan segar. Kemudian, Anda harus mensukseskan penjualannya. Sudah? Belum! Anda juga harus mensukseskannya agar setiap kunyahan konsumen bisa meninggalkan bekas sukses. Barulah Anda disebut sebagai petani sukses.

Ya. Sukses Anda tergantung pada kesuksesan sesuatu yang lain di luar diri Anda sendiri.

Anda akan bisa mengetahui apakah Anda akan sukses atau tidak, jika Anda bisa memprediksi sukses tidaknya sesuatu di luar Anda.

Maka, waspadalah jika Anda merasa tidak betah di kantor karena nggak sreg dengan boss Anda. Itu tanda bahwa sukses Anda bukan di situ tempatnya. Anda, nggak bakalan sukses di kantor itu sepanjang "nggak sreg" itu masih ada.

Waspadalah, jika Anda merasa bosan dengan profesi yang Anda geluti. Itu tanda bahwa Anda tidak akan sukses di dalam profesi itu.

Waspadalah, jika Anda merasa tidak bisa menghadapi murid, siswa, atau trainee Anda dengan segala tingkah dan polahnya. Anda tidak akan sukses sebagai pembina dan pengajar.

Waspadalah, jika Anda sering membenci bawahan Anda. Anda nggak bakal sukses sebagai pemimpin. Itu artinya, organisasi dan perusahaan Anda juga nggak bakal sukses di tangan Anda.

Lantas bagaimana, ganti profesi? Pindah kantor? Ganti produk? Tukar tanaman? Tidak juga.

Ketahuilah sebuah titik awal yang paling penting untuk Anda sukseskan, yaitu mindset Anda. Ketahuilah bahwa akal dan pikiran Anda juga berada di luar "Anda".

Jika selama ini Anda berpikir bahwa "Anda" adalah akal Anda; berhentilah. Sebenarnya, akal Anda adalah tool alias alat kelengkapan "Anda". Andalah user dari akal Anda, bukan sebaliknya.

Pahamilah bahwa akal Anda, sebenarnya juga berada di luar "Anda". Akal Anda adalah instrumen kemanusiaan Anda. Maka hal pertama yang perlu Anda lakukan, adalah "mensukseskan" akal dan pikiran Anda. Barulah dengan begitu, "Anda" lebih mudah menjadi sukses. Bagaimana mensukseskan akal dan pikiran Anda? Anda tahulah harus bagaimana.

Jika Anda berhasil, Anda tidak perlu berganti profesi atau pindah ke kantor, bidang, atau pekerjaan yang lain. Dijamin, Anda pasti akan sukses di sana.

Sekarang bisakah Anda meletakkan dengan tepat, di mana letaknya sukses berdasarkan contoh-contoh konsep berikut ini?

"Kerjakan apa yang Anda inginkan"
"Lakukan apa yang Anda senangi"
"Komentar atau testimoni"
"Iklan dan promosi"
"Kerja keras"
"Manusia dalah makhluk individu sekaligus sosial"
"Anda harus bekerjasama"
"Orang yang paling baik adalah orang yang paling bermanfaat"
"Pahlawan tanpa tanda jasa"

Sukses Anda, hanya bisa tercipta jika Anda mensukseskan sesuatu di luar Anda.

Ya. Saya ingin Anda sukses. Saya harus membuat Anda sukses. (Hanya dengan mencapai itu, Saya akan mencapai sukses Saya.)

Istri Saya ngeloyor pergi. "Ya sudah. Kalo begitu aku bobo' duluan".

Rabu, 18 November 2009

Penjelasan Tentang Unsur-unsur yang Menciptakan Hakikat Taubat

Penjelasan Tentang Unsur-unsur
yang Menciptakan Hakikat Taubat (1)
Dari penuturan Al Gazhali dan ulama lainnya dapat ditarik pengertian: bahwa hakikat taubat yang diperintahkan Allah SWT bagi seluruh kaum mu'minin agar mereka beruntung, serta memerintahkan agar mereka bertaubat dengan taubat nasuha, terdiri dari beberapa unsur dan faktor yang tiga itu: tersusun secara berurutan satu sama lain. Seperti dijelaskan oleh Al Ghazali.
1. Unsur pengetahuan dalam taubat
Unsur atau faktor pertama dari unsur-unsur itu adalah unsur pengetahuan. Yang tampak dalam pengetahuan manusia akan kesalahannya dan dosanya ketika ia melakukan kemaksiatan kepada Rabbnya, serta matanya terbuka sehingga ia dapat melihat kesalahannya itu, melepaskan sumbatan dari telinganya sehingga ia dapat mendengar, dan mengusir kegelapan dari akalnya sehingga ia dapat berpikir, dalam setiap kesempatan kembalinya diri kepada fithrahnya. Saat itu ia akan mengetahui keagungan Rabbnya, kemuliaan maqam-Nya dan kebesaran hak-Nya. Juga mengetahui kekurangan dirinya, mengapa ia mengikuti syaitan, serta kerugiannya yang jelas di dunia dan akhirat jika ia terus berjalan mengikuti perilaku Iblis dan tentaranya.
Saat itu, manusia butuh untuk memusatkan pikirannya, menggunakan akalnya, serta merenungi dengan dalam tentang dirinya dan apa yang berada di sekelilingnya, nilai-nilai yang ia miliki, perjalanan dirinya, akhir perjalanannya kemana, makna kehidupannya, kematian dan apa setelah kematiannya, tentang ni'mat Allah yang demikian besar baginya, sikapnya terhadap ni'mat-ni'mat itu, tentang ni'mat Allah yang terus turun kepadanya, dan kejahatan dirinya akan dilaporkan kepada Allah. Allah SWT akan menghidupkan cintanya dengan memberikan ni'mat kepadaanya walaupun Allah SWT tidak butuh kepadanya. Ia mendorong kemarahan Allah dengan melakukan maksiat, sedangkan ia adalah orang yang amat membutuhkan Allah, dan Allah tidak menutup pintu-Nya bagi hamba-hambaNya, meskipun mereka telah melampaui batas terhdap diri mereka sendiri, dan Allah terus memanggil mereka:
"Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya". (QS. az-Zumar: 53)
Kesadaran jiwa adalah pangkal pertama bagi bangunan taubat. Dialah yang akan mendorong hati untuk menyesal, kemudian bertekad untuk meninggalkan dosa itu, lidahnya beristihgfar, kemudian tubuhnya mencegah dari melakukan dosa itu.
Inilah yang diperingatkan oleh Al Quran dalam firman Allah SWT:
"Dan orang -orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Qur'an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya" (QS. al Hajj: 54.). Dengan runtutan ini yang ditunjukkan oleh hurup sambung "fa".
Yang pertama adalah pengetahuan, yang dengannya manusia mengetahui bahwa kebenaran adalah dari Rabb mereka. Dan itu akan menyebabkan mereka mengimaninya. Dengan demikian, ilmu pengetahuan adalah petunjuk dan pemimpin keimanan. Kemudian keimanan itu akan mengantarkan pada ketundukan dan khusyunya hati.
Allah SWT berfirman tentang sifat kaum muttaqin:
"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampunan terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? - Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui". (QS. Ali Imran: 135)
Mereka itu menyebut Allah, dan meminta ampunan dari dosa mereka kepadaNya. Istighfar itu terjadi akibat dzikir atau mengingat Allah SWT. Dan dzikir di sini adalah suatu macam pengetahuan. Karena yang dimaksud di sini bukan dzikir dengan lidah, seperti disangka orang. Namun ia adalah kebalikan dari lupa dan kealpaan. Dan ia adalah bagian dari macam-macam pengetahuan. Seperti firman Allah SWT:
"Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa." (QS. al Kahfi: 24)
Ilmu pengetahuan dalam Islam didahulukan dari keadaan jiwa dan perbuatan tubuh. Oleh karena itu, tidak aneh jika ayat yang pertama diturunkan dalam Al Quran adalah:
"Bacalah dengan nama Tuhan-mu yang telah menciptakan." (QS. al 'Alaq: 1)
dan membaca adalah kunci ilmu pengetahuan.
Imam Al Bukhari berkata dalam shahihnya: bab: "Ilmu sebelum beramal". Ia berdalil dengan firman Allah SWT:
"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mu'min, laki-laki dan perempuan". (QS. Muhammad: 19)
Maka di sini didahulukan perintah untuk berilmu dari perintah untuk beristighfar.
Al Qusyairi berkata dalam kitabnya "Risalah Qusyairiah": taubat yang pertama adalah: bangunnya hati dari kelalaian, serta sang hamba melihat kondisi yang buruk akibat dosa yang ia poerbuat. Dan itu akan mendorongnya untuk mengikuti dorongan hati nuraninya agar tidak melanggar perintah Allah SWT. Karena dalam khabar disebutkan: "penasehat dari Allah SWT terdapat dalam hati setiap orang muslim". (Hadits diriwayatkan oleh Ahmad dari An Nuwas bin Sam'an). Dan dalam khabar:
"Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh tubuh, dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh, ketahuilah itulah hati". (Hadits muttafaq alaih dari Nu'man bin Basyir).
Jika hatinya merenungkan keburukan perbuatannya, serta ia menyadari dosa-dosa yang ia perbuat itu, niscaya daam hatinya akan terdetik keinginan untuk bertaubat, dana menjauhkan diri dari melakukan tindakan-tindakan yang buruk itu. Kemudian Allah SWT akan membantunya dengan menguatkan tekadnya itu, melakukan tindakan koreksional atas dosa-dosanya, serta melakukan perbuatan-perbuatan yang seharusnya dalam bertaubat. (Risalah Qusyairiah dengan tahqiq Dr. Abdul Halim Mahmud, dan Dr. Mahmud bin Syarif, (juz 1/ 254, 255))
2. Unsur Hati dan Keinginan
Unsur kedua dalam taubat adalah: unsur jiwa, yang berhubungan dengan hati dan keinginan diri. Atau dengna kata lain: emosi dan inklinasi.
Dari unsur ini ada yang berhubungan dengan masa lalu, dan ada yang berhubungan dengan masa depan.
a. Menyesal dengan sangat
Yang berkaitan dengan masa lalu adalah apa ang kita kenal dengan penyesalan. Tentang ini terdapat hadits: "penyesalan adalah taubat". Karena ia adalah bagian yang paling penting dari taubat. Seperti dalam hadits "Hajji adalah Arafah". Karena ia adalah rukun yang paling penting dalam hajji itu. al Qusyairi mengutip dari beberapa ulama: penyesalan itu cukup untuk mewujudkan taubat. Karena penyesalan itu akan menghantarkan kepada dua rukun lainnya, yaitu tekad dan meninggalkan perbuatan dosa. Adalah mustahil jika ada seseorang yang menyesali tindakan yang masih terus ia lakukan atau ingin ia lakukan kembali.
Penyesalan adalah: perasaan, emosi atau gerak hati. Yaitu suatu bentuk penyesalan dalam diri manusia atas perbuatan dosa yang ia lakukan terhadap Rabbnya, terhadap makhluk yang lain dan bagi dirinya sendiri. Ini adalah penyeslan yang mirip dengan api yang membakar hati dengan sangat. Malah ia akan merasakannya seperti dipanggang ketika ia mengingat dosanya, sikap pelanggarannya serta hak Rabbnya atasnya. Itu adalah kondisi "terbakar di dalam" yang diungkapkan oleh sebagian kaum sufi ketika mereka mendefinisikan taubat: melelehkan lemak (yang terkumpul) karena kesalahan masa lalu. Dan yang lain berkata: ia adalah api hati yang membakar, serta sakit dalam hati yang tidak terobati!.
Al Quran telah mendeskripsikan sisi jiwa ini bagi beberapa orang yang melakukan taubat, dengan deskripsi yang amat bagus. Yaitu dalam kisah tiga sahabat yang absen dari mengikuti perang yang besar bersama Rasulullah Saw, yaitu perang Tabuk. Yang merupakan peperangan pertama Rasulullah Saw dengan negara yagn paling kuat di dunia saat itu: negara Romawi. Mereka tidak mengungkapkan alasan bohong seperti kaum munafik, maka Rasulullah Saw memerintahkan untuk mengucilkan mereka. Kemudian mereka menyesali perbuatan mereka itu dengan sangat, dan dilukiskan oleh Al Quran sebagai berikut:
"Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat ) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang". (QS. at-Taubah: 118)
Oleh karena itu Dzun-Nun al Mishri berkata: hakikat taubat adalah: engkau merasakan bumi yuang luas ini menjadi sempit karena dosamu, hingga engkau tidak dapat lari darinya, kemudian kesempitan itu engkau rasakan dalam dirimu. Seperti diungkapkan oleh al Quran: "dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka".
Di antara bentuk penyesalan adalah: mengakui dosa, dan tidak lari dari pertanggungjawaban dosa itu, serta meminta ampunan dan maghfirah dari Allah SWT.
Seperti kita temukan dalam kisah Adam setelah beliau dan istirnya memakan pohon yang dilarang itu:
"Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi". (QS. al A'raf: 23)
Dan seperti kita temukan dalam kisah Nuh ketika ia meminta ampunan kepada Rabbnya atas anaknya yang kafir. Dan jawaban Ilahi terhadapnya adalah:
"Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan". (QS. Huud: 46)
Di sini Nuh a.s. merasakan kesalahannya, dan iapun menyesalinya. Serta berkata:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekatnya) . Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi". (QS. Huud: 47)
Dan seperti kita lihat dalam kisah Musa, ketika beliau memukul seorang laki-laki dari Koptik dan menewaskannya:
Musa berkata: 'Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (pemusuhannya)'. (QS. al Qashash: 15-16)
Juga kita lihat dalam kisah nabi Yunus:
"Ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka dia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: "Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." (QS. al Anbiyaa: 87)
Meskipun jika kita perhatikan dosa-dosa yang diperbuat oleh para Rasul itu adalah dosa-dosa kecil, terutama jika kita perhatikan situasi dan kondisi terjadinya dosa itu, maka dosa-dosa itu memang ringan. Namun para Rasul itu, karena halusnya perasaan mereka, hati mereka yang hidup, serta perasaan mereka yang kuat akan hak Rabb mereka, maka mereka melihat dosa itu sebagai dosa yang amat besar, mereka mengakui kesalahan diri mereka, dan merekapun segera memohon ampunan dan maghfirah dari Rabb mereka, karena Dia adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
b. Tekad yang kuat
Jika penyesalan itu berkaitan dengan masa lalu dan kesalahan yang telah ia perbuat; ada dimensi dalam taubat yang berkaitan dengan masa depan, dan tentang probabilitas ia melakukan pengulangan perbuatan dosa itu kembali, serta bagaimana mengganti kesalahan yang telah ia perbuat. Yaitu dengan bertekad untuk meninggalkan maksiat itu dan bertaubat darinya secara total, dan tidak akan kembali melakukannya selama-lamanya. Seperti susu yang tidak mungkin kembali ke puting hewan setelah diperah. Ini semua berpulang pada keinginan dan tekad orang itu. Dan tekad itu harus kuat betul, bukan keinginan yang dilandasi oleh keragu-raguan. Tidak seperti mereka yang pada pagi harinya bertaubat sementara pada sore harinya kembali mengulangi lagi dosanya!
Yang terpenting dalam masalah tekadnya ini adalah agar tekad itu kuat dan betul-betul, saat bertaubat. Dengan tanpa disertai oleh keraguan atau kerinduan untuk kembali melakukan kemaksiatan, atau juga berpikir untuk mengerjakannya kembali. Taubat itu tidak batal jika suatu saat tekadnya itu sedikit melemah kemudian ia terlena oleh dirinya, tertipu oleh syaitan sehingga ia terpeleset, dan kembali melakukan kemaksiatan.
Dalam kasus seperti ini, ia harus segera melakukan taubat, menyesal dan menyusun tekad lagi. Dan ia tidak perlu putus-asa takut taubatnya tidak diterima jika memang tekadnya tulus. Allah SWT berfirman:
"Maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat" [QS. al Isra: 25].
Al-Awwaab adalah orang yang sering meminta ampunan kepada Allah SWT; setiap kali ia melakukan dosa ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb Yang Maha Mengampuni dosa, maka dia segera melakukan istighfar dan diapun mendapatkan ampunan.
Imam Ibnu Katsir berkata: "Sedangkan jika ia bertekad untuk bertaubat dan memegang teguh tekadnya, maka itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya pada masa lalu. Seperti terdapat dalam hadits sahjih "Islam menghapuskan apa yang sebelumnya, dan taubat menghapuskan dosa yang sebelumnya".
Ibnu Katsir berkata: "apakah syarat taubat nasuha itu orang harus tetap bersikap seperti itu hingga ia mati, seperti diungkapkan dalam hadits dan atsar: "kemudian ia tidak kembali melakukannya selama-lamanya", ataukah cukup bertekad untuk tidak mengulangi lagi, untuk menghapus dosa yang telah lalu, sehingga ketika ia kembali melakukan dosa setelah itu, maka ia tidak merusak taubatnya dan menghidupkan kembali dosa yang telah terhapuskan, dengan melihat generalitas pengertian hadits: "Taubat menghapus dosa yang sebelumnya" [Tafsir Ibnu Katsir: 4/ 392 , cet. Al Halabi.]?.
Ibnu Qayyim membicarakan hal ini dalam kitabnya "Madarij Salikin" dan menyebut dua pendapat:
Satu pendapat mengharuskan agar orang itu tidak mengulangi kembali dosanya sama sekali. Dan berkata: ketika ia kembali melakukan dosa, maka jelaslah taubatnya yang dahulu itu batal dan tidak sah.
Sedangkan menurut pendapat kalangan mayoritas, hal itu tidak menjadi syarat. Kesahihan taubat hanya ditentukan oleh tindakannya meninggalkan dosa itu, dan bertaubat darinya, serta bertekad dengan kuat untuk tidak mengulanginya lagi. Dan jika ia mengulanginya lagi padahal ia dahulu telah bertekad untuk tidak mengulang dosanya itu, maka saat itu ia seperti orang yang melakukan kemaksiatan dari permulaan sekali, sehingga taubatnya yang lalu tidak batal.
Ia berkata: masalah ini dibangun di atas dasar pertanyaan: "Apakah seorang hamba yang bertaubat dari suatu dosa kemudian ia mengulanginya dosanya itu, ia kembali menanggung dosa yang telah ia mintakan taubatnya sebelumnya, sehingga ia harus menanggung dosa yang lalu dan sekarang ini, jika ia mati saat masih melakukan maksiat? Ataukah itu telah terhapus, sehingga ia tidak lagi menanggung dosanya, namun hanya menanggung dosa yang terakhir itu?"
Dalam masalah ini ada dua pendapat:
Satu kelompok berpendapat: ia kembali menanggung dosa yang telah ia mintakan taubatnya dahulu itu, karena taubatnya telah rusak dan batal ketika ia mengulangi dosanya. Mereka berkata: karena taubat dari dosa adalah seperti keislaman dengan kekafiran. Seorang yang kafir ketika ia masuk Islam maka keislamannya itu akan menghapuskan seluruh dosa kekafiran dan dosa yang pernah dilakukannya. Kemudian jika ia murtad, dosanya yang lalu itu kembali ia tanggung ditambah dengan dosa murtad. Seperti terdapat dalam hadits Nabi Saw:
"Barangsiapa yang beramal baik dalam Islam (setelah masuk ke dalamnya dari kejahiliyahan) maka ia tidak akan dipertanyakan akan apa yang telah diperbuatnya pada masa jahiliah. Dan siapa yang berbuat buruk dalam Islam, maka ia akan dimintakan pertanggungjawaban akan dosanya pada yang pertama (saat masih jahiliah) dan yang lainnya (setelah Islam)".
Ini adalah orang yang masuk Islam namun merusakan keislamannya itu. Dan telah diketahui bersama bahwa kemurtadan adalah perusakan yang paling besar terhadap keislaman seseorang. Maka ia akan kembali menanggung dosa yang telah ia lakukan dalam kekafirannya sebelum ia masuk Islam, dan keislaman yang pernah ia rasakan itu tidak menghapuskan dosa-dosa yang lama iu. Demikian juga dosa orang yang taubatnya ia langgar, maka dosa yang dilakukan sebelum taubat yang ia langgar itu kembali ia tanggung. Juga tidak menghalangi dosa yang ia lakukan kemudian.
Mereka berkata: karena kesahihan taubat disyaratkan kontinuitasnya dan terus dijalani, maka sesuatu yang tergantung dengan suatu syarat akan hilang ketika syarat itu lenyap. Seperti kesahihan Islam disayaratkan kontinuitasnya dan terus dijalaninya. Mereka berkata: taubat adalah wajib secara ketat sepanjang usia seseorang. Masanya adalah sepanjang usia orang itu. Oleh karena itu, hukumnya-pun harus terus ditaati sepanjang usianya. Maka bagi dia, masa sepanjang usianya itu adalah seperti orang yang menahan diri dari melakukan hal-hal yang membatalkan puasa ketika ia berpuasa pada hari itu. Maka jika sepanjang hari ia menahan diri dari yang membatalkan puasa, kemudian ia melakukan perbuatan yang membatalkan puasa pada sore harinya, niscaya seluruh puasanya yang telah ia jalani dari pagi hari itu otomaits batal, dan tidak dinilai sebagai puasa. Dan ia sama seperti orang yang tidak puasa sama sekali.
Mereka berkata: ini didukung oleh hadits sahih, yaitu sabda Rasulullah Saw:
"Sesungguhnya seorang hamba telah beramal dengan amal penghuni surga, hingga antara dirinya dengan surga itu sekadar satu lengan, kemudian ketentuan takdirnya datang hingga akhirnya ia beramal dengan amal penghuni neraka sehingga iapun masuk ke neraka itu".
Ini lebih umum dari amal yang kedua itu, suatu kekafiran yang menghantarkan kepada neraka selamanya, atau kemaksiatan yang menghantarkannya ke neraka. Karena Rasulullah Saw tidak mensabdakan: "maka ia murtad dan iapun meninggalkan Islam". Namun menghabarkan bahwa: ia beramal dengan amal yang menghantarkannya ke neraka. Dan dalam sebagian kitab sunan terdapat: "Ada seorang hamba yang telah melakukan ketaatan kepada Allah SWT selama enam puluh tahun, dan ketika ia menjelang kematiannya ia melakukan kecurangan dalam berwasiat maka iapun masuk neraka".
Penutup yang buruk lebih umum dari penutup dengan kekafiran atau kemaksiatan. Dan seluruh amal perbuatan dinilai dengan akhir amal itu.
Sedangkan kelompok kedua -- yaitu mereka yang berkata bahwa dosa yang lama yang telah ia mintakan taubatnya tidak kembali ditanggungnya jika ia melanggar taubatnya itu-- berdalil bahwa dosa itu telah terhapus dengan taubat. Maka ia seperti orang yang tidak melakukannya sama sekali, sehingga ia seperti tidak ada. Sehingga ia tidak kembali ke situ setelahnya. Namun yang harus ia tanggung hanya dosa yang baru itu, bukan dosa yang lama.
Mereka berkata: tidak disyaratkan dalam kesahihan taubat itu ia tidak pernah berdosa hingga mati. Namun jika ia telah menyesal dan meninggalkan dosa serta bertekad untuk meninggalkan sama sekali perbuatannya itu, niscaya dosanya segera terhapuskan. Dan jika ia kembali melakukannya, ia memulai dari baru catatan dosanya itu.
Mereka berkata: ini tidak seperti kekafiran yang menghancurkan seluruh amal kebaikan. Karena kekafiran itu lain lagi masalahnya. Oleh karenanya ia menghapuskan seluruh kebaikan. Sedangkan kembali berdosa tidak menghapuskan amal kebaikan yang telah dilakukannya.
Mereka berkata: taubat adalah termasuk kebaikan yang paling besar. Maka jika taubat itu dibatalkan dengan melakukan dosa kembali, niscaya pahala-pahala itu juga terhapuskan. Pendapat itu tidak benar sama sekali. Itu sama seperti mazhab kaum khawarij yang mengkafirkan orang karena dosa yang ia perbuat. Dan kaum Mu'tazilah yang memasukkan orang yang berdosa besar dalam neraka, meskipun ia telah melakukan banyak amal yang baik. Kedua kelompok itu sepakat memasukkan orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar dalam neraka. Namun khawarij mengkafirkan mereka, dan mu'tazilah menilai mereka fasik. Dan kedua mazhabn itu adalah batil dalam Islam. Bersebrangan dengan nash-nash, akal serta keadilan:
"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya, dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar" [QS. an-Nisa: 40].
Mereka berkata: Imam Ahmad menyebutkan dalam musnadnya secara marfu' kepada Nabi Saw:
"Sesungguhnya Allah SWT mencintai hamba yang terfitnah (hingga melakukan dosa) dan sering meminta ampunan" [Hadits ini sanadnya dha'if jiddan/lemah sekali].
Aku berkata: ia adalah orang yang setiap kali melakukan dosa ia segera bertaubat dari dosa itu. Kalaulah mengulang dosa itu membatalkan taubatnya niscaya ia tidak disenangi oleh Rabbnya, malah menimbulkan kebencian-Nya.
Mereka berkata: Allah SWT mengaitkan diterimanya taubat dengan istighfar, tidak terus melakukan dosa, dan tidak mengulanginya. Allah SWT berfirman:
"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? - Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui" [QS. Ali Imran: 135].
Terus melakukan dosa adalah: membiasakan hati dan diri untuk melakukan dosa setiap kali ada kesempatan untuk itu. Inilah yang menghalangi maghfirah dari Allah SWT.
Mereka berkata: Sedangkan kontinuitas taubat adalah syarat keabsahan kesempurnaan dan kemanfaatan taubat itu, bukan syarat keabsahan taubat atas dosa yang sebelumnya. Namun tidak demikian halnya dengan ibadah, seperti puasa selama satu hari penuh, serta bilangan raka'at dalam shalat. Karena ia adalah suatu ibadah secara utuh, sehingga ibadah itu tidak dapat diterima jika tidak terpenuhi seluruh rukun dan bagian-bagiannya. Sedangkan taubat, ia adalah adalah ibadah yang beragam sesuai dengan ragam dosa. Setiap dosa memiliki cara taubat tersendiri. Jika seseorang melakukan suatu ibadah dan tidak melakukan yang lain, itu tidak berarti ibadah yang dilakukannya itu tidak sah karena ia tidak mengerjakan ibadah yang lain, seperti telah disebutkan sebelumnya.
Namun, sama dengan ini adalah: orang yang puasa pada bulan Ramadlan kemudian ia membatalkan puasanya itu tanpa adanya uzur, maka apakah puasa yang ia batalkan itu membatalkan pahala puasa yang telah ia lakukan?
Contoh yang lain adalah orang yang shalat namun ia tidak berpuasa , atau yang yang menunaikan zakat namun tidak pernah melaksanakan ibadah hajji (padahal ia mampu).
Pokok masalah: taubat sebelumnya adalah kebaikan, sedangkan mengulang dosa itu adalah keburukan, maka pengulangan dosa itu itidak menghapus kebaikan itu, juga tidak membatalkan kebaikan yang dilakukan bersamaan dengannya.
Mereka berkata: ini dalam pokok-pokok (ushul) ahli sunnah lebih jelas. Mereka sepakat bahwa seseorang bisa mendapat perlindungan dari Allah SWT dan pada saat yang sama juga dibenci oleh-Nya. Atau ia dicintai Allah SWT namun ia juga sekaligus dibenci dari segi lain. Atau ada orang yang beriman namun masih mempunyai kemunafikan, juga keimanan dan kekafiran. Dan orang itu dapat lebih dekat kepada suatu sisi dari sisi yang lain. Sehingga ia menjadi kelompok sisi itu. Seperti firman Allah SWT: "Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari padi keimanan"[QS. Ali Imran: 167]. Dan berfirman:
"Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)" [QS. Yusuf: 106].
Allah SWT mengakui keimanan mereka, sambil menyebut kemusyrikan mereka. Namun jika bersama kemusyrikan ini juga terdapat pengingkaran terhadap Rasul-rasul Allah maka keimanannya kepada Allah SWT itu tidak bermakna lagi. Sedangkan jika mereka membenarkan apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw, sementara mereka tetap melakukan beragam tindakan musyrik, itu tidak mengeluarkan mereka dari keimanan kepada para Rasul dan hari kiamat. Dan mereka berhak mendapatkan ancaman yang lebih besar daripada pelaku dosa-dosa besar.
Kemusyrikan mereka adalah dua macam: musyrik yang tersembunyi dan yang terang-terangan. Yang tersembunyi dapat diampuni, sedangkan yang terang-terangan tidak diampuni oleh Allah SWT kecuali dengan melakukan taubat dari pebuatannya itu. Karena Allah SWT tidak mengampuni kemusyrikan.
Dengan dasar ini, ahli sunnah mengatakan bahwa para pelaku dosa besar masuk neraka, namun setelah merasakan siksa neraka itu mereka akan keluar darinya dan masuk surga, karena adanya dua unsur pada dirinya.
Jika demikian, maka orang yang mengulang melakukan dosa setelah bertaubat adalah orang yang dibenci Allah SWT karena ia mengulangi dosanya, namun juga dicintai karena ia telah melakukan taubat dan amal ang yang baik sebelumnya. Dan Allah SWT telah menetapkan bagi segala seuatu sebab-sebabnya, dengan adil dan penuh hikmah, dan Allah SWT tidak sedikitpun melakukan kezhaliman.
"Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba (Nya)" [QS. Fushilat: 46].
Penjelasan Tentang Unsur-unsur
yang Menciptakan Hakikat Taubat (2)
3. Sisi Praktis dalam Taubat
Jika dalam taubat ada sisi atau unsur pengetahuan; yang terwujudkan dalam ilmu tentang maqam Allah SWT dan kebesaran hak-Nya atas hamba-hamba-Nya, serta nikmat-nikmat-Nya yang banyak atas mereka pada satu segi, dan pada segi lain pengetahuan tentang bahaya kemaksiatan dan kesalahan serta pengaruhnya di dunia dan akhirat, serta ia akan menjadi penghalang antara manusia dan Rabbnya, dan akan menghalangi manusia untuk mencapai keberuntungan dan keselamatan yang dicarinya:
"Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah beruntung." (QS. Ali Imran: 185)
Dalam taubat juga ada sisi atau unsur hati, emosi dan hasrat. Terwujudkan dalam penyesalan yang membakar kayu-kayu dosa. Air mata penyesalan yang mencuci kotoran kesalahan. Dan cahaya semangat dan tekad yang benar untuk tidak kembali melakukan kemaksiatan yang telah ia mintakan taubatnya, sebesar apapun godaan yang ia jumpai.
Dalam taubat juga terdapat sisi atau unsur praksis yang harus dijalankan, hingga hakikat taubat dapat dipenuhi, serta ia dapat memberikan hasilnya bagi jiwa dalam kehidupan.
Sisi praksis ini mempunyai dasar, dan darinya keluar dua cabang, atau barangkali beberapa cabang.
a. Meninggalkan Kemaksiatan Secepatnya
Pokoknya adalah: meninggalkan kemaksiatan secepatnya. Suatu taubat tidak bermakna jika orang yang bertaubat itu masih tetap menjalankan kemaksiatan yang ia sesali itu, serta tiddak meinggalknanya; karena, kalau begitu, apa yang ia taubatkan, jadinya? Meninggalkan taubat itu dinilai sebagai pekerjaan, karena ia menahana diri dari kemaksiatan yang ia ingin lakukan, untuk tetap dalam ketaatan. Tidak diragukan lagi, menahan diri ini adalah pekerjaan, gerak tubuh, serta jihad fi sabilillah. Allah SWT berfirman:
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan ) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami." (QS. al 'Ankabut: 69).
b. Istighfar
Sedangkan dua cabang asal itui adalah, pertama: istighfar. Dengan pengertian, memintah maghfirah dan ampunan dari Allah SWT. Seperti dikatakan oleh bapak yang pertama, Adam, dan ibu yang pertama, Hawa; setelah keduanya makan pohon yang dilarang itu:
"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi." (QS. al A'raaf: 23)
Seluruh orang yang bertaubat amat membutuhkan untuk beristighfar, seperti diperintahkan oleh Al Quran dan sunnah serta dijelaskan oleh kaum salaf saleh.
Mengingat pentingnya istighfar, dan diulangnya perintah untuk istighfar itu, serta dorongan untuk melakukannya dalam al Quran dan hadits, maka kami akan khususkan suatu pasal tesendiri tentang hal itu.
c. Mengubah Lingkungan dan Teman
Cabang kedua adalah: merubah lingkungan masyarakat yang penuh dengan kotoran, yang ia tempati saat ia melakukan kemaksiatan dan penyelewengan. Kemudian mencari lingkungan yang bersih dan suci yang bebas dari penyakit yang berbahaya. Yang kami maksud dengan penyakit-penyakit itui adalah: penyakit kesalahan, dosa dan penyelewengan. Dan ini lebih berbahaya dari penyakit badan, dan lebih cepat pengaruhnya.
Jika pengaruh penyakit anggota badan berbahaya bagi seorang individu, maka bahaya penyelewengan dan kemaksiatan mengancam individu dan masyarakat secara bersamaan. Ia tidak hanya bahaya bagi materi yang tangible (terindera) saja, namun juga terhadap sisi maknawi dan etika (yang intangible). Ia tidak hanya berbahaya bagi dunia saja, namun juga terhadap dunia dan akhirat secara bersamaan.
Ini artinya, orang yang bertaubat hendaknya meninggalkan teman-temannya yang jahat yang mengajaknya untuk melakukan kemaksiatan dan menarik kakinya ke arah itu. Yang membuat ia terjatuh seperti mereka. Sehingga ia kemudian turut meminum minuman keras, berjudi, menggunakan obat bius, memperjual belikan barang yang haram, menerima sogokan, jatuh dalam tipu daya wanita, bekerja dengan musuh sebagai mata-mata, atau meninggalkan shalat serta mengikuti syahwat... dan macam-macam kesalahan lainnya. Oleh karena itu, ia harus mengganti teman-teman yang jahat itu dengan teman-teman yang baik. Yang dengan melihat mereka saja ia akan mengingat Allah SWT, pembicaraan mereka mengajak kepada ketaatan kepada Allah SWT , dan perbuatan mereka menunjukkan kepada jalan Allah SWT.
Orang yang bertaubat harus meninggalkan menemani "tukang tiup api" untuk kemudian memilih teman "tukang jual minyak wangi", seperti diajarkan oleh pengajar yang pertama, Rasulullah Saw.
Pengaruh teman dan shabat bagi manusia amat besar, seperti diungkapkan oleh para bijak bestari dan para penyair dari semenjak dahulu kala. Hingga ada penyair yang berkata:
"Tentang seseorang maka janganlah tanyakan dirinya sendiri, namun tanyakan temannya Karena setiap teman dengan temannya adalah sama. "
dan penyair lain berkata:
"Hati-hatilah dan jangan temani orang yang pencela, karena ia akan menularkan seperti orang sehat tertularkan orang berpenyakit kusta."
Teman ada dua macam: teman yang membawa engkau menuju surga, dan teman yang menjerumuskan engkau ke dalam neraka. Al Quran telah menceritakan kepada kita akan bahaya teman jenis terakhir ini. Karena ia dapat menyesatkan dan menghalangi dari jalan Allah. Dan mungkin korban-korban mereka baru diketahui di akhirat nanti, ketika tabir kegaiban telah dibuka, dan manusia melihat hakikat sejara jelas. Allah berfirman:
"Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang-orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul". Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab (ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Qur'an ketika Al Qur'an itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia." (QS. al Furqan: 27-29).
Oleh karena itu, kita melihat seluruh teman di dunia menjadi musuh di akhirat. Masing-masing mencela yang lain, dan satu orang melaknat temannya yang lain, serta mereka saling membebaskan diri dari masing-masing. Seluruh mereka berkata kepada sahabatnya: engkaulah yang telah menyesatkan dan membuatku sesat. Kecuali ada satu jenis teman dan kekasih yang tetap saling mencintai, yaitu orang-orang yang taqwa, yang takut kepada Rabb mereka, dan azab yang buruk. Allah SWT berfirman:
"Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa." (QS. az-Zukhruf: 67)
Dari sini, sebagian ahli suluk dari kalangan salaf memperingatkan untuk mengganti sahabat. Ketika ia berkata, "taubat adalah: menyesal dengan hati, bertekad untuk meninggalkan maksiat, meminta ampunan dengan lisan, menjauhkan maksiat dengan badan, serta menjauhi teman-teman yang buruk." Ini adalah pandangan pendidikan yang benar dan telah teruji. Inilah yang telah diperingatkan oleh al Qusyairi dan ia menasehati orang yang taubat untuk memulai dengan perbuatan ini, yaitu menjauhi teman-teman yang buruk. Merekalah yang mendorongnya untuk menggagalkan niatnya untuk bertaubat, serta menganggu tekadnya untuk melakukan ketaatan. [Risalah Qusyairiah : 1/255.].
Ini diperkuat oleh hadits sahih: yaitu hadits yang berbicara tentang orang yang telah membunuh seratus orang, kemudian ia bertanya siapa orang yang paling pandai di dunia. Kemudian ia diberitahukan untuk menemui seorang alim ia berkata kepadanya: bahwa ia telah membunuh seratus orang, maka apakah ia masih mempunyai kesempatan untuk bertaubat? Orang alim itu menjawab: ya, siapa yang yang menghalangi orang untuk bertaubat? Pergilah engkau ke daerah ini dan ini, karena di sana terdapat orang-orang yang menyembah Allah SWT, maka beribadahlah kepada Allah SWT bersama mereka, dan jangan engkau kembali ke kampungmu, karena ia adalah kampung yang buruk... hadits. [Hadits itu muttafaq alaih dari Abi Sa'id al Khudri. Disebutkan oleh al Mundziri dalam Targhib wa Tarhib. Lihatlah : al Muntaqa (1936) dan telah disebutkan hadits ini dengan lengkap pada halaman sebelumnya.]
d. Mengiringi Perbuatan Buruk dengan Perbuatan Baik
Ini adalah cabang lain yang menyempurnakan dua cabang itu dan memperkuat taubat. Yaitu: mengiringi keburukan dengan kebaikan, sehingga dapat menghapus pengaruhnya dan membersihkan kotorannya. Inilah yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw kepada Abu Dzarr r.a. ketika beliau mewasiatkan kepadanya dengan wasiat yang agung ini, dan bersabda:
"Bertakwalah di manapun engkau berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya ia akan menghapusnya, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik." [Hadits diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmizi dari Abi Dzar. Tirmizi berkata: hadits ini hasan sahih. Dan Al Hakim mensahihkannya atas syarat Bukhari dan Muslim, dan disetujui oleh Adz Dzahabi dan Al Baihaqi dalam Asy-Syu'ab. Dan Ahmad serta Tirmizi dan Al Baihaqi juga Thabrani meriwayatkannya pula Mu'adz. Adz Dzahabi berkata dalam kitab Muhadz-dzab: sanadnya adalah hasan. (Al Faidl: 1/121)]
Yang dimaksud adalah: seorang muslim, jika ia melakukan maksiat, hendaknya segera mengiringinya dengan kebaikan. Seperti shalat, shadaqah, puasa, perbuatan yang baik, istighfar, dzikr, tasbih dan lainnya, dari macam-macam perbuatan yang baik. Seperti firman Allah SWT :
"Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk." [QS. Huud: 114]
Ibnu Arabi berkata: kebaikan akan menghapus keburukan, baik sebelumnya atau setelahnya. Pelaksanaan kebaikan setelah keburukan itu lebih baik, karena perbuatan itu lahir dari hati, dan berpengaruh dengannya. Maka jika ia melakukan kebaikan, itu menunjukkan hatinya yang baik. Dan jika ia melakukan perbuatan yang baik, itu timbul dari pilihan hati, sehingga menghapus keburukan yang dilakukan sebelumnya. Pengertian literer sabda beliau: 'tamhuha' "akan menghapusnya", artinya dosa itu akan lenyap dari catatan. Ada yang berpendapat: maksudnya adalah, tidak diancam dengan hukuman atas dosanya itu. [Lihatlah: Faidlul Qadir: 1/120]
Jika kesalahannya itu adalah membicarakan keburukan orang lain di hadapan seesorang tertentu, maka kebaikan itu adalah memuji orang tadi dihadapan orang yang diajak berghibah sebelumnya, atau ia beristighfar kepada Allah SWT baginya.
Jika keburukannya itu adalah mencela seseorang di hadapan manusia, maka kebaikannya itu adalah menghormatinya, memuliakannya serta menyebutnya dengan kebaikan.
Orang yang kejahatannya adalah membaca buku-buku yang buruk, maka kebaikannya adalah membaca al Quran, kitab hadits serta ilmu-ilmu Islam. Orang yang keburukannya adalah menghardik kedua orang tua, maka kebaikannya itu adalah dengan berlaku sebaik-sebaiknya dengan keduanya dan memuliakannya serta berbuat baik kepadanya, terutama saat mereka dalam usia lanjut.
Orang yang keburukannya adalah memutuskan silaturahmi, serta berbuat buruk kepada saudara, maka kebaikannya adalah berbuat baik kepada mereka serta berusaha menjaga persaudaraan, walaupun mereka memutuskannya, dan memberi mereka walaupun mereka belum pernah memberi.
Jika keburukannya adalah duduk dalam tempat hiburan, main-main dan melakukan yang haram, maka kebaikannya itu adalah duduk di tempat kebaikan, dzikr dan ilmu yang bermanfaat.
Jika keburukannya itu adalah bekerja di koran yang memusuhi Islam dan para da'inya, maka kebaikannya itu adalah bekerja di koran yang melawan musuh-musuh Islam itu, dengan menyebarkan berita yang jujur, serta pendapat yang lurus.
Jika keburukannya adalah mengarang kitab yang menyesatkan, serta mengajak kepada kemungkaran dalam perkataan dan perbuatan, menyebarakan pemikiran yang menyesatkan serta mengajak kepada syahwat, maka kebaikannya itu adalah mengarang kitab yang melawan kecenderungan itu, mengajak kepada kebaikan, memerintahkan kepada yang ma'ruf, serta melarang dari kemunkaran.
Barang siapa yang kebaikannya adalah menyebarkan nyanyian yang merangsang, serta mengundang nafsu yang rendah dengan segala cara, maka kebaikannya adalah menyebarkan kebaikan, serta mengajak kepada sifat malu dan menjaga kehormatan diri.
Barangsiapa keburukannya adalah menzhalimi manusia, memusuhi orang-orang lemah, serta mengganggu kehormatan mereka dan hak-hak material atau immaterial mereka, maka kebaikan mereka itu adalah berusaha menegakkan keadilan, berlaku jujur kepada orang yang zhalim, membela orang-orang yang lemah, dan berusaha memperjuangkan hak-hak mereka.
Jika keburukannya adalah bergabung dengan kelompok penguasa yang despotis dan mendukung kebohongan mereka, serta membantu mereka menjalankan kezaliman mereka terhadap rakyat, maka kebaikannya adalah membantah orang-orang yang zalim itu sedapat mungkin, serta membuka kebobrokan mereka di hadapan massa, membongkar kelakuan buruk mereka serta korupsi yang mereka lakukan, sehingga manusia menjauh dari mereka.
Inilah kebaikan yang dapat menghapuskan dosa orang yang melakukan keburukan semampu ia lakukan. Yaitu dengan melawannya, menghilangkan pengaruhnya, serta membersihkan diri dari pengaruhnya. Yaitu dengan meniti jalan yang berlawanan dari perbuatan buruk itu, seperti dijelaskan oleh imam Al Ghazali. Karena orang yang sakit diobati dengan lawannya penyakit itu.
Seluruh kezaliman yang naik ke hati dengan kemaksiatan, maka ia tidak dapat dihapuskan kecuali dengan cahaya yang naik dengan perbuatan baik, yang berlawanan dengan perbuatan buruk itu. Yang berlawanan adalah yang berpasangan (baik-buruk). Demikianlah hendaknya, seluruh keburukan dihapuskan dengan kebaikan yang sejenisnya, semampu mungkin. Cara seperti ini dalam menghapus keburukan, lebih dipercaya dan lebih diyakini dari pada secara terus menerus menjalankan suatu macam ibadah tertentu saja, meskipun itu juga pada gilirannya akan menghapus dosanya.
Cara penghapusan dosa dengan lawannya ini, diperkuat oleh syari'ah. Yaitu al Quran mewajibkan dalam kasus pembunuhan karena kealpaan dengan membebaskan budak. Karena perbudakan adalah semacam kematian seseorang, karena ia tidak mempunyai kebebasan. Dengan membebaskan budak maka terdapat penghidupan maknawi di dalamnya. Karena manusia tidak mungkin menghidupkan orang secara material dan langsung, maka ia dapat menghidupkannya secara maknawi, yaitu dengan membebaskannya.
Penjelasan Tentang Unsur-unsur
yang Menciptakan Hakikat Taubat (3)
4. Agar Taubat Ditujukan Kepada Allah SWT.
Ada rukun yang dituntut untuk dipenuhi dalam taubat, meskipun banyak orang tidak menyebutkannya, yang aku dapati diungkapkan secara implisit, tidak secara eksplisit. Yaitu agar meninggalkan dosa, menyesal darinya, dan bertekad untuk tidak mengulanginya, semata karena Allah SWT saja, karena ingin mendapatkan pahala-Nya, serta takut terhadap hukuman-Nya.
Barangsiapa yang meninggalkan minum khamar semata karena dokter melarangnya, dan takut jika hal itu akan mengancam kesehatannya, kemudian orang itu meninggalkannya semata karena itu, maka ia tidak dapat dimasukkan dalam kelompok orang yang taubat. Jika ia meninggalkan perbuatan itu dengan latar belakang seperti itu, maka hal itu tidak dianggap sebagai taubat.
Orang yang meninggalkan zina, semata karena ia terkena aids, atau takut terkena penyakit itu, atau penyakit-penyakit kelamin lainnya, sehingga ia takut terhadap keselamatan dirinya, kemudian ia meninggalkan zina, maka itu bukan taubat yang sebenarnya.
Orang yang meninggalkan menggunakan obat bius, semata karena takut ditangkap polisi dan ancaman hukuman mati, maka ia bukan orang yang bertaubat, dan meninggalkannya itu bukan taubat.
Orang yang uangnya habis di meja judi, kemudian ia meninggalkan judi itu, karena tidak memiliki uang lagi serta kekayaannya sudah habis, saat itu ia tidak dapat dikatakan telah bertaubat, dan ia tidak termasuk dalam golongan orang yang taubat.
Orang yang menghardik ayahnya, kemudian orang tuanya tidak memberikannya harta dan warisan, dan anak itu kemudian menyesal dari sikap membangkang terhadap orang tuanya itu, maka penyesalannya itu bukan suatu taubat, bukan pula bagian darinya, karena ia menyesal semata karena tidak mendapatkan dunia, bukan karena telah melakukan kemaksiatan kepada Allah SWT.
Al Quran kita temukan berbicara tentang dua anak Adam. Ketika yang jahat membunuh saudarnya yang baik, kemudian ia membawa-bawa mayat saudarnya itu dalam waktu lama, dan ia tidak tahu bagaimana menguburkannya, karena itu adalah kematian yang pertama dalam sejarah manusia:
"Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal. [QS. al Maaidah: 31]
Penyesalan saudara yang jahat ini bukan dari kemaksiatannya kepada Allah SWT, atau karena ia telah membunuh saudaranya, namun semata karena ia membawa-bawa mayat itu dalam waktu yang cukup lama, serta ia tidak tahu bagaimana menguburkannya, oleh karena itu penyesalannya itu tidak berguna baginya.
Namun ketika musibah-musibah dunia dan kerugiannya menggerakan keimanan dalam hati manusia, mendorongnya untuk membacaa ulang dirinya, dan membuat dirinya mengingat akhiratnya, saat itu ia telah melakukan taubat. Dan insya Allah taubatnya itu diterima.
Istighfar
Istighfar adalah: meminta ampunan. Atau menghapus dosa dan menghilangkan bekasnya, serta menjaga dari keburukannya. Ibnu Qayyim berkata: hakikat maghfirah adalah: menjaga keburukan dosa. Di antaranya adalah: mighfar: yaitu alat yang menjaga kepala dari kecelakaan [Madarij Salikin juz 1 / 308]. Ampunan itu hanya diminta kepada Allah SWT saja, karena di antara nama-Nya adalah "al Ghafuur", "al Ghaffaar", serta "Ghaafir adz Dzanb". Dan di antara sifat-sifat Allah SWT adalah:
"Allah mengampuni dosa-dosa semuanya." [QS. az-Zumar: 53]
Al Quran menyampaikan kepada kita bahwa Rasul-rasul Allah yang diutus kepada bangsa-bangsa diprintahkan untuk beristighfar. Secara sendiri atau bersamaan. Seperti disebutkan al Quran tentang Nuh dan dakwahnya kepada kaumnya:
"Maka aku katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun- , niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai." [QS. Nuh: 10-12]
Dan seperti Allah SWT menyebutkan tentang Huud dan dakwahnya kepada kaum Aad, yaitu ia berkata:
"Dan (dia berkata): "Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu." [QS. Huud: 52]
Juga Nabi Shaleh yang mengajak kaum Tsamud:
"Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do'a hamba-Nya)." [QS. Huud: 61]
Demuikian juga Syu'aib kepada kaum Ahli Madyan:
"Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Penyasih." [QS. Huud: 90]
Dan Allah SWT berfirman kepada Rasul-Nya yang penutup; Muhammad Saw:
"Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya." [QS. Fush-shilat: 6]
Istighfar yang hakiki juga mengandung taubat. Sebagaimana taubat juga mengandung istighfar. Dan keduanya mewakili yang lain ketika disebut secara terpisah.
Sedang jika disebutkan secara tersendiri dalam sebuah redaksi, seperti dalaam redaksi: "Dan mohonlah ampun (istighfar) kepada Tuhanmu kemudian bertaubatlah kepada-Nya", maka istighfar di situ bermakna: meminta perlindungan dari kejahatan akibat dosa yang telah dilakukannya. Sedangkan taubat bermakna: kembali dan meminta perlindungan dari kejahatan yang mungkin terjadi aqkibat perbuatan-perbuatannya yang buruk.
Imam Ibnu Qayyim berkata: di sini ada dua dosa. Dosa yang telah lampau, istighfar darinya bermakna: meminta perlindungan dari kejahatannya, serta dosa yang ia takutkan akan terjadi. Sedangkan taubat darinya bermakna: bertekad untuk tidak mengerjakannya lagi. Sedangkan kembali kepada Allah SWT mencakup dua jenis: kembali kepada-Nya untuk menjaga diri dari kejahatan akibat perbuatan yang telah dikerjakannya. Serta kembali kepada-Nya untuk menjaga diri dari kejahatan dirinya serta perbuatan buruknya di masa mendatang.
Istighfar di sini juga usaha untuk menghilangkan bahaya. Sedangkan taubat adalah meminta manfaaat yang dapat diraih. Maghfirah adalah: agar ia dijaga dari bahaya kejahatan dosanya. Sedangkan taubat adalah agar setelah ia dijaga dari kejahatan itu ia mendapatkan apa yang ia senangi. Dan keduanya mengandung yang lain jika disebut secara terpisah. [Madaarij Salikin: 1/ 308, 309].
Kebutuhan manusia akan maghfirah Allah SWT adalah kebutuhan pokok. Karena nikmat-nikmat Allah SWT yang dicurahkan kepadanya tidak terhitung. Sementara kekurangannya dalam menjalankan hak Allah SWT tidak dapat diingkari pula. Maka jika ada manusia yang berkata: aku telah menjalankan hak Allah SWT seluruhnya, dan tidak sedikitpun aku kurang menjalankan hak itu, maka perkataannya itu sendiri adalah sebuah dosa. Karena itu adalah jelas-jelas kesombongan dan bangga dengan diri sendiri. Oleh karena itu, seluruh manusia membutuhkan maghfirah. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
"Dan bergegaslah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi." [QS. Ali Imran: 133].
Di sini kecepatan dituntut dalam meminta maghfirah sebelum meminta surga. Ayat yang sejenis adalah firman Allah SWT:
"Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi." [QS. al Hadid: 21].
Dan firman Allah SWT:
"Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai." [QS. ash-Shaff: 10-12]
Keuntungan perdagangan mereka adalah maghfirah itu. Kemudian mereka dimasukkan ke dalam surga.
Dari kebutuhan manusia akan maghfirah itu, tumbuh kebutuhannya akan istihgfar. Dan ia tidak pernah bebas dari kebutuhan ini, malam atau siang. Seperti ia tidak dapat membebaskan dirinya dari kebutuhan akan makanan dan minuman. Seperti difirmankan Allah SWT dalam hadits qudsi yang terkenal yang diriwayatkan oleh Nabi Saw dari Rabbnya Azza wa Jalla:
"Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian melakukan dosa pada malam dan siang hari, dan Aku mengampuni dosa-dosa seluruhnya, maka mintalah ampunan kepada-Ku niscaya Aku ampuni kalian." [Hadits diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abi Dzar]
Dan sabda Rasulullah Saw:
"Demi Dzat Yang jiwaku berada dalam kekuasan-Nya, seandainya kalian tidak berbuat dosa niscaya Allah SWT akan menghapuskan kalian dari muka bumi dan mendatangkan makhluk lain yang melakukan dosa kemudian meminta ampunan kepada Allah SWT dan Allah SWT pun mengampuni mereka." [Hadits diriwaytkan oleh Ahmad dan Muslim dari Abi Hurairah. Sahih Jami' Shagir (7074)]
Oleh karena itu, al Quran menyifati hamba-hamba Allah yang baik sebagai orang-orang yang beristighfar kepada Allah SWT, terutama pada waktu menjelang subuh, serta saat sedang jatuh dalam dosa.
Allah SWT mensifati orang yang bertakwa yang berhak mendapatkan surga dan keridhaan-Nya sebagai berikut:
"Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikarunia) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah: Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Yaitu) orang-orang yang berdo'a: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka", (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, dan tetap ta'at, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur." [QS. Ali Imran: 15-17]
Dalam surah yang sama Allah SWT membicarakan kepada kita tentang kaum Rabbani yang sebagian mereka telah terbunuh di jalan Allah SWT. Namun mereka tidak melemah karena mengalami kematian, serta mereka tidak menjadi malas karenanya. Firman Allah SWT:
"Tidak ada do'a mereka sekalian ucapan: "Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir [QS. Ali Imran: 147]
Sebelum mereka meminta kekuatan dan kemenangan kepada Allah SWT , mereka meminta maghfirah dari dosa-dosa dan sikap berlebihan mereka dalam kehidupan. Dalam hal ini mereka menuduh diri mereka sendiri dengan perlakuan dan tindakan yang berlebihan, bukan menuduh Allah SWT bahwa Dia mengecewakan dan tidak menolong mereka!
Dalam surah itu pula terdapat pembicaraan tentang "ulul albab", yaitu mereka berdo'a kepada Allah SWT dengan beberapa do'a. Di antaranya adalah:
"Ya Tuhan Kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti." [QS. Ali Imran: 193.]
Dalam surah yang lain, Allah SWT memuji kaum muttaqin yang berbuat baik dari sekalian wali-wali Allah SWT. Firman Allah SWT:
"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah)." [QS. adz-Dzariat: 15-18].
Al Hasan berkata: mereka beramal pada malam hari, dan hanya tidur sedikit dari malam itu, itu mereka lakukan hingga menjelang subuh, dan pada saat itu mereka melakukan istighfar.
Alangkah anehnya! Mereka mengisi malam dengan ibadah dan shalat, kemudian pada menjelang subuh mereka beristighfar! Seakan mereka masih merasa kekurangan dan kesalahan diri mereka.
Ibnu Katsir berkata: terdapat dalam hadits-hadits sahih dari beberapa orang shabat dari Rasulullah Saw bahwa beliau bersabda:
"Sesungguhnya Allah SWT turun pada tiap malam ke langit dunia, hingga sepertiga malam yang terakhir, dan berfirman: Apakah ada orang yang meminta taubat hingga Aku berikan taubat kepadanya? Apakah ada yang meminta ampunan hingga Aku berikan ampunan kepadanya? Apakah ada orang yang meminta hingga aku kabulkan permintaannya? Hingga datang fajar".
Kewajiban beristighfar itu makin kuat bagi orang yang sedang jatuh dalam kemaksiatan dan dosa. Karena siapa yang bisa menghindarkan dirinya sama sekali dari perbuatan dosa? Di sini istighfar berfungsi sebagai perangkat untuk menghilangkan kekurangannya, dan yang dapat mencucinya dari kotoran dosa.
Allah SWT menyebut sifat-sifat kaum muttaqin dalam al Quran sebagai orang yang:
"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampunan terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosa selain dari pada Allah? - Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui" [QS. Ali Imran: 135].
Dan firman Allah SWT:
"Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. an-Nisa: 110.].
Allah SWT memuji nabi-nabi-Nya dalam Al Qur'an dengan tindakan mereka yang melakukan istighfar itu. Mereka adalah manusia yang paling bersegera dalam melakukan istighfar dan yang paling senang melakukannya.
Dalam kisah Adam, nenek moyang manusia, beliau beristighfar ketika beliau dibujuk oleh syaitan hingga beliau dan istrinya memakan pohon yang dilarang itu. Maka beliau segera meminta istighfar dan kembali kepada-Nya:
"Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi." [QS. al A'raf: 23.].
Nabi Nuh a.s, pemimpin para rasul itu meminta istighfar bagi dirinya, kedua orang ketuanya, dan bagi semua orang yang berhak atasnya, juga bagi kaum mu' minin dan mu'minat:
"Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan." [QS. Nuh: 28].
Dan Nabi Ibrahim a.s. berdo'a:
"Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mu'min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)." [QS. Ibrahim: 41].
"Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat adn hanya kepada Engkaulah kami kembali, " Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami Ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkau, Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." [QS. al Mumtahanah: 4-5.].
Nabi Musa a.s. yang secara tidak sengaja membunuh seorang manusia, sebelum beliau mendapatkan kerasulannya, segera meminta ampunan kepada Rabbnya atas kesalahannya itu.
"Musa mendo'a: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku". Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. al Qashash: 16.].
Pada kesempatan lain, beliau berdoa:
"Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah Yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya." [QS. al A'raaf: 155].
Allah SWT berfirman dalam kisah Nabi Daud a.s:
"Dan Daud mengetahui bahwa kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat" [QS. Shaad: 24].
Dalam kisah Nabi Sulaiman a.s. Allah SWT berfirman:
"Ia berkata: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku." [QS. Shaad: 35].
Dan Nabi Muhammad Saw juga diperintahkan untuk bertaubat dalam banyak ayat, seperti dalam firman Allah SWT dalam al Qur'an Makki ini:
"Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi." [QS. Ghaafir: 55].
Dalam al Qur'an Madani Allah SWT memerintahkan beliau untuk beristighfar kepada-Nya, dalam firman Allah SWT:
"Dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. an-Nisa: 106].
Juga Allah SWT memerintahkan beliau untuk beristighfar bagi dirinya dan kaum mu'minin dan mu'minat. Yaitu dalam firman Allah SWT:
"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan." [QS. Muhammad: 19].
Dan firman Allah SWT:
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat." [QS. an-Nashr: 1-3].
Ini adalah bagian dari surah yang diturunkan belakangan. Atau ia diturunkan pada penghujung kehidupan Rasulullah Saw, dan setelah turunnya firman Allah SWT dalam surah al Fath:
"Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu." [QS. al Fath: 2].
Dan ini diturunkan pada tahun keenam hijriah setelah terjadinya perdamaian Hudaibiah yang terkenal itu, yang dinamakan Allah SWT sebagai kemenangan yang nyata.
Namun demikian, Allah SWT tetap memerintahkan beliau untuk beristighfar. Dan Rasulullah Saw adalah manusia yang paling banyak beristighfar kepada Rabbnya. Sahabat beliau pernah menghitung, dalam satu majlis, Rasulullah Saw lebih dari tujuh puluh kali mengucapkan: " Wahai Rabb-ku ampunilah daku dan berilah Aku taubat".
An-Nasaai meriwayatkan dari Ibnnu Umar bahwa ia mendengar Rasulullah Saw mengucapkan: "Aku memohon ampunan kepada Allah Yang tidak ada tuhan selain Dia Yang Hidup kekal dan terus menerus mengurus (makhluk-Nya). Aku memohon taubat kepadaNya" dalam satu majlis ,sebelum bangkit darinya, sebanyak seratus kali. Dalam satu riwayat: "kami menghitung Rasulullah Saw dalam satu majlis mengucapkan: 'Wahai Rabb-ku ampunilah daku dan berilah daku taubat, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi taubat dan Maha Pengampun' sebanyak seratus kali." [Fathul Bari: 11/101, 102].
Dalam sahih Muslim dari hadits al Aghar al Muzni diriwayatkan:
"Pernah ada kelalaian untuk berdzikir dalam hatiku, dan aku beristigfar kepada Allah SWT setiap hari sebanyak seratus kali untuk kelalaian itu ".
Dalam sahih Bukhari dari hadits Abi Hurairah r.a.:
"Demi Allah, aku beristighfar dan meminta taubat kepada Allah SWT dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali".
Ulama menafsirkan "al ghain" yang berada dalam hati Rasulullah Saw itu adalah: suatu masa Rasulullah Saw tidak melakukan dzikir yang terus dilakukan beliau. Dan jika Rasulullah Saw melupakannya karena suatu hal, maka beliau menganggap itu sebagai dosa, dan beliau ber istighfar kepada Allah SWT dari kelalaian itu.
Ada yang berpendapat: itu adalah sesuatu yang terjadi dalam hati, seperti keinginan hati yang biasa terjadi dalam diri manusia.
Ada yang berpendapat: para nabi adalah orang yang amat berusaha keras untuk melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Karena mereka mengtehui hak-Nya atas mereka sehingga mereka terus bersyukur kepada Allah SWT, dan mengakui bahwa mereka selalu kurang sempurna dalam menjalankan apa yang diperintahkan Allah SWT kepada mereka.
Al Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin berkata: adalah Rasulullah Saw selalu meningkat derajat beliau. Dan setiap kali beliau menaiki suatu derajat maka beliau akan melihat derajat yang sebelumnya, dan beliau akan ber istighfar atas derajat yang lebih rendah itu. [Fathul Bari: 11/ 102, 102].
Al Muhasiby berkata: malaikat dan para nabi adalah orang yang lebih takut kepada Allah SWT dibandingkan orang yang lebih rendah derajatnya dari mereka. Dan takut mereka adalah sebuah takut penghormatan dan pemuliaan. Mereka beristighfar dari kekurang sempurnaan dalam menjalankan apa yang seharusnya, bukan karena dosa yang dilakukan.
Qadhi 'Iyadh berkata: sabda beliau: "Wahai Rabb-ku ampunilah dosaku dan ampunilah atas apa yang aku telah dahulukan dan apa yang aku telah tunda dapat dinilai sebagai sebuah ungkapan dari ketawadhu'an, ketundukan, sikap merendahkan diri, dan sebagai kesyukuran kepada Rabbnya, karena beliau tahu bahwa Allah SWT telah mengampuninya. [Fathul Bari: 11/ 198].
Terdapat hadits sahih dari Rasulullah Saw tentang bentuk redaksional istighfar beliau yang tidak pernah digunakan oleh seorang nabi atau Rasulupun sebelum beliau, yaitu:
"Ya Allah, ampunilah kesalahanku, kejahilanku, tingkah berlebihan dalam perkaraku, serta apa yang Engkau lebih tahu dariku. Ya Allah ampunilah keseriusan dan sikap humorku, ketidak sengajaan dan kesengajaanku, dan seluruh perbuatan seperti itu yang ada padaku. Ya Allah, ampunilah apa yang aku dahulukan dan apa yang aku akhirkan, serta apa yang sembunyikan dan apa yang aku beritahukan, dan Engkau adalah Yang memajukan dan Engkau pula Yang memundurkan, dan Engkau adalah Maha kuasa atas segala sesuatu." [Hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Musa. Fathul Bari 11/ 196, 197].
Dan Rasulullah Saw bersabda: sayyidul istighfar adalah engkau mengucapkan:
"Ya Allah, Engkau Rabbku, tidak ada tuhan selain Engkau. Engkau telah menciptakan aku, dan aku adalah hamba-Mu dan aku akan terus berada dalam jalan dan janji-Mu selama aku mampun. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan apa yang telah aku perbuat, dan aku mengakui nikmat yang Engkau berikan kepadaku, dan aku akui pula dosa yang telah aku perbuat, maka ampunilah daku, karena tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain daripada Engkau." [Hadits diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab Ad Da'awat dari Syidad bin Aus dengan nomor: (6306)].
Syeikh Ibnu Abi Hamzah berkata: dalam hadits ini terkumpulkan keelokan makna dan keindahan lafazh, sehingga memang ia berhak disebut sebagai sayyidul istighfar. Di dalamnya terdapat pengakuan bagi Allah SWT atas ke-Tuhanan-Nya, bagi diri-Nya semata, dan penyembahan kepada-Nya. Juga pengakuan bahwa Dia adalah Sang Pencipta, pengakuan akan perjanjian yang telah diambilnya dari Allah SWT, pengharapan akan janji yang telah diberikan oleh Allah SWT, perlindungan dari kejahatan yang dilakukan oleh hamba atas diirnya sendiri, penisbahan nikmat kepadaNya, sementara menisbahkan dosa kepada dirinya sendiri, juga keinginannya untuk meminta ampunan, serta pengakuannya bahwa tidak ada seorangpun yang dapat memberikan pengampunan itu selain Allah SWT. Seluruh sisi itu menunjukkan penyatuan antara sisi syari'ah dengan hakikat.. Karena kewajiban-kewajiban syari'ah terwujudkan dengan adanya pertolongan dan bantuan Allah SWT. Inilah apa yang dikatakan sebagai hakikat. [Fathul Bari: 11/100].

Penjelasan Tentang Unsur-unsur
yang Menciptakan Hakikat Taubat (4)
Syarat-syarat Istighfar dan Etika-etikanya
Istighfar yang diterima oleh Allah SWT harus memenuhi syarat-syarat dan etikanya; yaitu, antara lain:
1. Syarat yang pertama adalah: niat yang benar dan ikhlas semata ditujukan kepada Allah SWT. Karena Allah SWT tidak menerima amal perbuatan manusia kecuali jika amal itu dilakukan dengan ikhlas semata untuk-Nya. Allah SWT berfirman:
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus" [QS. Al Bayyinah: 5].
Dan sabda Rasulullah Saw :
"Seluruh amal perbuatan manusia ditentukan oleh niatnya. Dan orang yang beramal mendapatkan balasan atas amalnya itu sesuai dengan apa yang diniatkannya". Hadits muttafaq alaih.
2. Syarat kedua adalah: agar hati dan lidah secara serempak melakukan istighfar. Sehingga tidak boleh lidahnya berkata: aku beristighfar kepada Allah SWT, sementara hatinya ingin terus melakukan maksiat. Dari Ibnu Abbas r.a. diriwayatkan, ia berkata: "orang yang beristighfar kepada Allah SWT dari suatu dosa sementara ia masih terus menajalankan dosa itu maka ia seperti orang yang sedang mengejek Rabbnya!"
Rabi'ah berkata: istighfar kita butuh kepada istighfar lagi! Jika istighfar kita hanya dengan lidah saja, tidak disertai dengan hati.
3. Di antara adab yang melengkapi istighfar itu adalah: agar ia berada dalam keadaan suci, sehingga ia berada dalam kondisi yang paling sempurna, zhahir dan bathin. Seperti dalam hadits Ali bin Abi Thalib, ia berkata: Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. (dan apa yang diucapkan oleh Abu Bakar itu adalah benar adanya) meriwayatkan kepadaku bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabsda:
"Tidak ada seseorang yang berbuat dosa, kemudian ia bangun dan bersuci serta memperbaiki bersucinya, kemudian ia beristighfar kepada Allah SWT, kecuali Allah SWT pasti mengampuninya" [Al Hafizh berkata: hadits ini diriwaytkan oleh Ahmad dan yang empat dan Ibnu Hibban mensahihkannya. Fathul Bari: 11/ 98. Sedangkan dalam Jami' Shagir dinisbahkan kepada Abi Daud dan Tirmizi. Sementara Al Albani menyebutkannya dalam Dha'if al Jami' (5006)]. Kemudian Rasulullah Saw membaca ayat :
"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui" [QS. Ali Imran: 135].
Dalam hadits Abu Bakar secara marfu' dikatakan:
"Tidak ada orang yang dianggap terus melakukan dosa jika ia langsung beristighfar dan meminta taubat, meskipun dalam satu hari ia dapat mengulang (dosa itu) sampai tujuh puluh kali " [Dalam Fathul Bari: Hadits dikeluarkan oleh Abu Daud dan Tirmizi juga].
4. Di antara adab itu adalah: agar ia ber istighfar kepada Allah SWT, dan ia berada dalam kondisi takut dan mengharap. Karena Allah SWT menyifati diri-Nya dengan firman-Nya:
"Yang Mengampuni dosa dan Menerima taubat lagi keras hukuman-Nya" [QS. Ghafir: 3].
Dan firman Allah SWT :
"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [QS. Al Maidah: 98].
"Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai ampunan (yang luas) bagi manusia sekalipun mereka zhalim, dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar sangat keras siksaan-Nya" [QS. ar-Ra'd: 6].
"Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [QS. al Hijr: 49].
Ayat-ayat semacam ini banyak, dan seluruhnya menanamkan keseimbangan dalam hati antara takut dan mengharap. Tidak ada yang merasa aman dari balasan Allah SWT, kecuali mereka yang merugi. Dan tidak ada yang putus asa dari rahmat Allah SWT kecuali orang-orang kafir.
Oleh karena itu orang yang melakukan dosa tidak seharusnya meninggalkan istighfar, sebanyak dan sebesar apapun dosa yagn telah ia perbuat. Karena ampunan Allah SWT lebih besar dari dosanya itu, rahmat-Nya lebih luas, dan ampunanNya lebih besar.
Dalam hadits qudsi yang terkenal, yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Dzar dari Nabi Saw dari Rabbnya Azza wa Jalla:
"Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa pada malam dan siang hari, dan Aku mengampuni dosa-dosa seluruhnya, maka minta ampunlah kepada-Ku niscaya Aku ampuni kalian ".
5. Di antara adab itu adalah: agar ia memilih waktu yang utama. Seperti saat menjelang subuh. Seperti firman Allah SWT :
" Dan yang memohon ampun di waktu sahur" [QS. Ali Imran: 17].
"Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)" [QS. adz-Dzariaat: 18].
Dan ketika anak-anak Ya'qub berkata kepada ayah mereka: "Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)". Ya'qub berkata: "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [QS. Yusuf: 97-98].
Para mufassir berkata: beliau menunda istighfar itu hingga waktu menjelang subuh, karena pada saat itu, doa lebih dekat untuk dikabulkan, jauh dari ria, lebih bersih bagi hati, dan ia adalah waktu tajalli Ilahi pada sepertiga terakhir dari waktu malam.
6. Di antara adab itu adalah: istighfar dalam shalat. Pada saat bersujud, sebelum salam atau setelah salam.
Rasulullah Saw telah mengajarkan Abu Bakar untuk mengucapkan sebelum salam: "Wahai Allah, sesungguhnya aku telah berbuat zalim kepada diriku dengan kezaliman yang banyak, dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Engkau, maka ampunilah daku dengan ampunan dari-Mu, dan kasihilah aku, sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi ampunan dan Maha Penyayang ".
7. Di antara adab itu adalah: agar ia berdo'a bagi dirinya sendiri dan bagi kaum mu'minin, sehingga ia masuk dalam kelompok mereka, semoga Allah SWT menyayanginya dan mengampuninya dengan berkah mereka dan dengan masuk dalam kelompok mereka.
Oleh karena itu kita dapati para nabi tidak hanya ber istighfar kepada diri mereka. Namun juga bagi diri mereka, bagi kedua orang tua mereka, serta bagi kaum mu'minin dan mu'minat seperti terdapat dalam do'a Nur dan Ibrahim serta nabi-nabi lainnya.
Di antara do'a Nuh itu adalah:
"Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan" [QS. Nuuh: 28].
Dan dari do'a Ibrahim adalah:
"Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang -orang mu'min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)" [ QS. Ibrahim: 41].
8. Di antara adab itu adalah: agar ia berdo'a dan ber istighfar dengan redaksi yang disebutkan dalam al Quran dan sunnah. Karena ia adalah redaksi yang terbaik, paling besar nilainya, paling luas maknanya serta paling merasuk dalam hati. Berbeda halnya dengan redaksi-redaksi doa dan wirid lain yang dibuat oleh manusia, di sana tidak ada kemanusiaan susunan kalimat al Quran serta keindahan kata-kata yang digunakan dalam hadits.
Dan dalam ber istighfar dan berdo'a dengan al Quran dan hadits itu mendapatkan dua balasan:
a. Balasana doa dan istighfar.
b. Balasan mengikuti al Quran dan sunnah.
Di antara redaksi-redaksi doa al Quran adalah; doa yang diucapkan oleh Adam, Nuh, Ibrahim dan nabi-nabi serta rasul-rasul yang lain. Di antaranya adalah:
"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi" [QS. al A'raaf: 23].
"Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali, " Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami Ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkau, Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" [QS. al Mumtahanah: 4-5].
"Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum kafir " [QS. Ali Imran: 147].
"Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang" [QS. Al Hasyr: 10].
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu"; maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti" [QS. Ali Imran: 193].
Dan dalam hadits terdapat do'a dengan redaksi yang bermacam-macam. Di antaranya adalah sayyidul istihgfar yang telah kami sebutkan sebelumnya. Di antaranya adalah:
"Wahai Tuhanku, ampunilah kesalahanku, kebodohanku serta tindakanku yang berlebihan dalam urusanku".
Di antaranya adalah:
"Ya Allah, jauhkanlah daku dari kesalahanku sebagaimana Engkau jauhkan antara Timur dan Barat. Ya Allah, sucikanlah aku dari kesalahanku dengan air, salju dan embun. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahan seperti baju yang putih dibersihkan dari kotoran". Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abi Hurairah dan diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dari A'isyah. Dan adalah Rasulullah Saw berdo'a dengan do'a itu setelah takbiratul ihram dalam shalat, serta sebelum membaca surah Al Fatihah.
Di antaranya adalah:
"Ya Allah, ampunilah kesalahanku, luaskanlah rumahmu dan berilah keberkahan dalam rezekiku". diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmizi serta ia menilainya sebagai hadits hasan, dan Abu Ya'la serta periwayat yang lain dari Abi Musa.
Apakah Istighfar Bermanfaat Jika Dilakukan Sambil Terus Berbuat Dosa?
Di antara pertanyaan yang timbul dalam topik ini adalah: "apakah istighfar bermanfaat bagi orang yang melakukannya, jika ia tetap menjalankan dosa, yang besar maupun kecil?
Para ahli suluk berbeda pendapat dalam masalah ini: Di antara mereka ada yang berpendapat: istighfar itu akan bermanfaat baginya secara mutlak, meskipun ia tidak mempunyai tekad untuk bertaubat. Di antara mereka ada juga yang berkata: istighfarnya tersebut tidak bermanfaat sama sekali, hingga ia benar-benar bertaubat. Dan pihak yang lain memerinci ketentuan-ketentuan dan kondisi masing-masing.
Aku adalah termasuk dalam kelompok yang ketiga ini. Menurutku: istighfar yang hanya diucapkan dengan lidah saja bermanfaat bagi orang yang beristighfar itu, jika diiringi dengan kesungguhan, kekhusyu'an dalam berdo'a, memohon dengan sangat dan merasakan kebutuhan yang amat besar akan maghfirah Allah SWT di waktu berikutnya. Ia meminta kepada Allah SWT sebagai seorang hamba yang fakir, meminta kepada Tuannya yang Maha Kaya, dengan permintaan makhluk yang lemah kepada Sang Pencipta Yang Maha Perkasa, permohonan sosok yang kecil kepada Rabbnya yang Maha Besar, Yang rahmat-Nya mencakup segala hal, dan maghfirah-Nya menyelimuti semua orang. Ketaatan manusia tidak membuat-Nya untung, dan maksiat mereka tidak mengurangi kekuasaan Allah SWT. Seorang hamba, jika ia beristighfar dengan semangat dan ruh seperti itu, maka istighfarnya tidak akan sia-sia. Di antara dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
Pertama: seperti telah diungkapkan dari al Qur'an dan hadits tentang keutamaan istighfar, ia ditampilkan dalam beragam bentuk dan secara mutlak tanpa pembatas, sehingga mencakup orang yang masih tetap menjalankan kemaksiatan dan pelanggaran lainnya, maka mengapa kita kemudian membatasinya dengan batasan: "sambil tidak terus menjalankan maksiat?"
Kedua: istighfar --meskipun hanya dengan lidah-- adalah kebaikan yang dapat menghapus keburukan, apalagi jika disertai dengan permohonan yang sangat.
Imam Ghazali berkata: menurutku: istighfar dengan lidah juga merupakan suatu kebaikan. Karena gerakan lidah beristighfar lebih baik dari pada ia melakukan ghibah atau berkata-kata yang tidak ada manfaatnya. Ia juga lebih utama dari pada sekadar diam. Keutamaannya itu akan tampak jika dibandingkan dengan diam itu. Namun ia akan nampak kurang nilainya jika dibandingkan dengan amal hati. Oleh karena itu ada orang yang berkata kepada syeikhnya, Abi Utsman al Maghribi, sebagai berikut: lidahku sibuk berdzikir dan membaca al Quran, namun hatiku lalai! Mendengar hal itu ia berkomentar: bersyukurlah kepada Allah SWT, karena Dia menggerakan salah satu anggota badanmu untuk melakukan kebaikan, teruskanlah lidahmu untuk berdzikir, jangan gunakan untuk keburukan , atau berkata yang tidak berguna! [Ihya Ulumuddin: 4.]
Ketiga: Allah SWT berjanji --dan janji Allah SWT adalah pasti-- bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan amal seorang, dan balasan bagi orang yang berbuat kebajikan. Seperti firman Allah SWT:
"Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan (nya) dengan baik."[QS. al Kahfi: 30]
"Sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan." [QS. Huud: 115]
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." [QS. az-Zilzalah: 7]
"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar." [QS. an-Nisa: 40]
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain." [QS. Ali Imran: 195]
Dan istighfar --seperti telah kami katakan-- adalah amal, dan secara inheren ia adalah amal yang baik.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dan Al Baihaqi dalam Asy-Sya'b dari Ibnu Abbas secara marfu': "orang yang beristighfar dari dosanya --sementara ia masih terus melakukan dosa tersebut-- adalah seperti orang yang mengejek Rabb-nya," adalah hadits dha'if. Dan yang rajihnya ia adalah hadits mauaquf pada Ibnu Abbas dan bukan hadits nabi [Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan dalam kitab Fathul Bari hadits Ibnu Abbas dan lafazhnya adalah:
"Orang yang bertaubat dari dosanya adalah seperti orang yang tidak berdosa, dan orang yang meminta ampunan dari dosa sementara ia masih terus melakukan dosa itu adalah seperti orang yang mengejek Rabb-nya." Ia berkata: yang rajih adalah redaksi: "...wal mustaghfir (orang yang beristifghfar) ...dan seterusnya itu adalah mauquf. Sedangkan bagian pertama dari hadits itu adalah diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Thabarani dari hadits Ibnu Mas'ud dan sanadnya adalah Hasan. (Fathul Bari: 13/ 471)]
Meskipun seandainya kita terima keberadaan hadit itu, maka ia dapat dipahami sebagai ucapan istighfar yang dilafalkan sebagai suatu kebiasaan saja, sambil memikirkan yang lain, serta tidak memahami maknanya, dan tidak pula dengan merajuk dan menangis.
Seperti itu pula perkataan sebagian orang yang mengatakan: istighfar tanpa meninggalkan diri dari dosa adalah taubat orang-orang pembohong! Dan perkataan yang lain: aku ber istighfar kepada Allah SWT dari istighfarku! Ini dapat dipahami bahwa istighfarnya itu semata dengan ucapan lidahnya saja, tanpa diiringi dengan gerakan hati yang merupakan rekan dalam amal itu.
Sedangkan perkataan Rabi'ah al Adawiah: istighfar kita butuh kepada istighfar lagi yang banyak! Jangan disangka bahwa ia mencela gerakan lidah yang sedang berdzikir kepada Allah SWT. Namun ia mencela hati yang lalai. Dan kelalaian hati seperti itu butuh kepada istighfar lagi dari kelalaian itu sendiri, bukan dari gerakan lidahnya. Dengan demikian, orang yang berdiam saja, tidak ber istighfar dengan lidahnya, dengan demikian membutuhkan dua macam istighfar, bukan hanya satu istighfar!
Seperti inilah seharusnya dipahami pujian orang yang memuji dan celaan orang yang mencela. Jika tidak maka ia berarti tidak memahami perkataan ini: "kebaikan orang-orang biasa adalah keburukan kaum muqarrabin! Karena ini adalah masalah yang nisbi, sehingga tidak dapat dipahami secara sederhana. Oleh karenanya tidak selayaknya kita menganggap ringan ketaatan dan perbuatan buruk yang amat kecil sekalipun.
Imam Ja'far ash-Shadiq berkata: Allah SWT menyembunyikan tiga hal dari tiga hal.
1. Menyembunyikan ridha-Nya dalam ketaatan kepada-Nya, oleh karena itu janganlah engkau cela ketaatan itu sekecil apapun, karena barangkali di situ terletak ridha Allah SWT.
2. Menyembunyikan kemarahan-Nya dari kemaksiatan terhadap-Nya, oleh karena itu janganlah engkau menganggap ringan suatu kemaksiatan sekecil apapun, karena barangkali di situ terletak kemarahan-Nya. Dan
3. Dia menyembunyikan wali-Nya dari sekalian hamba-hamba-Nya, oleh karena itu janganlah engkau menganggap rendah seorang hamba Allah SWT , karena barangkali dia adalah wali Allah.
Sahl bin Abdullah (at Tustary) berkata: seorang hamba dalam segala keadaan pasti membutuhkan Tuhannya, oleh karena itu ia harus memperbaiki keadaannya, yaitu dengan selalu mengembalikan kepada-Nya segala sesuatu yang diputuskan dan ditentukan untuknya. Maka jika ia bermaksiat kepada Allah SWT, hendaklah ia berkata: "wahai Rabbku tutupilah keburukanku itu". Dan jika ia telah membebaskan diri dari maksiat, maka hendaklah ia berkata: "wahai Rabbku ampunilah dosaku!" Dan jika ia telah melakukan taubat hendaknlah ia berkata: "wahai Rabbku, berikanlah aku halangan dari melakukan kemaksiatan!" Dan jika ia telah mengerjakan ketaatan hendaklah ia berkata: "wahai Rabbku terimalah amal baik saya ini!"
Al Ghazali berkata dalam kitabnya Ihya Ulumuddin: janganlah engkau menghina ketaatan sekecil apapun hingga membuat engkau tidak mengerjakannya, dan kemaksiatan sekecil apapun hingga membuat engkau tidak meninggalkannya. Seperti wanita pemintal yang malas untuk memintal benang, karena ia hanya mampu mengerjakan satu benang saja dalam satu jam, dan ia berkata: apa manfaatnya satu benang itu? dan kapan akan dapat menghasilkan satu baju? Ia tidak menyadari bahwa seluruh baju di dunia ini diciptakan dari satu-benang dengan benang lainnya, dan seluruh dunia yang luas ini di susun dari atom-atom kecil, maka berdo'a dengan menangis dan istighfar dengan hati adalah kebaikan yang tidak akan sia-sia di sisi Allah SWT! [Dari Ihya Ulumuddin, Kitab Taubat, dikutip dengan ringkas.]
Disebutkan dalam kitab al Adzkaar dari Rabi' bin Khaitsam ia berkata: jangan engkau katakan: aku beristighfar kepada Allah SWT dan aku bertaubat kepadaNya". Karena itu dapat menjadi dosa jika ia tidak benar-benar menjalankannya. Namun katakanlah: "wahai Rabbku ampunilah daku dan berilah hamba taubat". An nawawi berkata: ini baik. Sedangkan ia tidak senang mengatakan "aku ber istighfar kepada Allah SWT " dan ia menamakannya sebagai kebohongan, an Nawawi tidak setuju dengan itu. Karena makna "astaghfirullah" adalah aku memohon ampunan-Nya, dan itu bukanlah kebohongan. Ia berkata: untuk menolak pendapat itu cukup dengan hadits Ibnu Mas'ud dengan lafazh:
"Barangsiapa yang mengucapkan: Aku meminta ampunan kepada Allah Yang tidak ada tuhan selain Dia, Yang Hidup kekal dan selalu mengatur (makhluk-Nya) dan aku bertaubat kepadanya: niscaya diampunkan segenap dosa-dosanya meskipun ia pernah melarikan diri dari medan perang". Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmizi serta disahihkan oleh Hakim. Al Hafizh ibnu Hajar berkata: ini adalah dalam lafazh "Aku meminta ampunan kepada Allah Yang tidak ada tuhan selain Dia, Yang Hidup kekal dan Maha mengatur (sekalian makhluk-Nya) sedangkan kata "aku bertaubat kepadanya " inilah yang dimaksudkan oleh Rabi' bahwa itu adalah kebohongan. Dan demkkian juga jika ia mengucapkan taubat namun ia tidak menjalankan taubat itu".
Dalam berdalil dengan menggunakan hadits Ibnu Mas'ud itu patut diteliti kembali, karena dapat saja yang dimaksudkan adalah: jika ia mengatakan taubat dan mengerjakan syarat-syarat taubat itu. Dan dapat pula Rabi' ingin menggabungkan dua lafazh, tidak sekadar kata "astaghfirullah" sehingga seluruh perkataannya adalah benar. Wallahu a'lam.
Al Hafizh berkata: aku membaca dalam al Halabiat karya Taqiyyuddin as-Subki sebagai berikut: istighfar adalah meminta ampunan, baik dengan lidah, atau dengan hati atau juga dengan keduanya. Dengan yang pertama itu akan mendatangkan manfaat karena itu lebih baik dari sekadar diam, dan ia dapat dimasukkan sebagai perkataan yang baik. Yang kedua amat baik sekali, dan yang ketiga lebih baik lagi. Namun keduanya itu tidak menghapus dosa hingga terdapat taubat yang sebenarnya. Karena orang yang berbuat maksiat dan tidak juga meninggalkannya itu meminta diampuni, dan itu tidak harus ada taubat dalam dirinya. Hingga ia berkata: yang aku katakan bahwa makna istighfar adalah berlainan dengan makna taubat, adalah jika ditinjau berdasarkan redaksional. Namun menurut banyak ulama, lafazh "astaghfirullah" itu maknanya adalah taubat. Jika ada orang yang seperti itu keyakinannya, maka ia berarti menginginkan taubat. Kemudian ia berkata: dan sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa taubat tidak sempurna kecuali dengan istighfar, dengan dalil firman Allah SWT:
"Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya,"
sedangkan menurut pendapat yang masyhur, hal itu tidak disyaratkan. [Fathul Bari: 13/ 472]