Kamis, 11 Maret 2010

Biografi Singkat Prof. Dr. M. Suyanto, MM


Biografi Singkat Prof. Dr. M. Suyanto, MM
25 July 2005 | Topik: General
Pak Yanto

Prof. Dr. M.Suyanto, MM lahir di Madiun, 20 Februari 1960 dan menikah dengan Dra. Anisah Aini serta mempunyai 2 orang putra, yaitu Zidna Ilma Azzahra dan Mohammad Abdan Syakura.

Pendidikan S1 dari FMIPA Fisika Universitas Gajah Mada diselesaikan 1987 dan S2 dari Magister Manajemen. Universitas Gajah Mada lilus 1993. mendapat gelar PhD in Management (USA, 1998) dan telah menyelesaikan Program Doktor (S3) di bidang Ilmu Ekonomi di Universitas Airlangga Surabaya pada 2007.

Pekerjaan sekarang adalah Ketua STMIK AMIKOM Yogyakarta, Direktur Primagama Group , Direktur Pusat Pendidikan Komputer dan Manajemen IMKI, Komisaris utama RBTV, Komisaris Utama PT.GIT Solution, Komisaris Utama Time Excellindo, Komisaris Utama Radio SWA FM, Komisaris Utama Mataram Surya Visi, Komisaris Utama Amikom Training Center, Ketua Dewan Pengembangan Program MM STIE “ABI” Surabaya, Ketua Yasyasan STIE “IEU” Yogyakarta, Ketua Dewan Pendiri Yayasan AMA Yogyakarta, Ketua Dewan Pembina AMIKOM Surakarta, Wakil Ketua Yayasan UNU Surakarta, Ketua Dewan Pembina STMIK IMKI Purwokerto, Dewan Pendiri STIE TIM Semarang, Dewan Pendiri AMIK HASS Bandung, Ketua Dewan Pembina Yayasan STMIK IMKI Semarang, Wakil Ketua Dewan Pembina Yayasan Akademi Komunikasi Radya Binatama Yogyakarta, Wakil Ketua Yayasan Bali Globalindo dan Dewan Pendiri ABA Primagama. Disamping itu sebagai Pengasuh kolom METAMORFOSA di Harian REPUBLIKA dan kolom KEWIRAUSAHAAN di Harian KEDAULATAN RAKYAT serta mengasuh acara RAHASIA BISNIS di RBTV.

Mengubah Kegagalan Menjadi Kesuksesan : Menyikapi Kegagalan

Mengubah Kegagalan Menjadi Kesuksesan : Menyikapi Kegagalan

By M. Suyanto

Anthony Robbins dalam bukunya Unlimited Power, menyatakan bahwa kebanyakan orang dalam kebudayaan kita diprogramkan untuk takut gagal. Padahal, kita semua pernah menginginkan sesuatu tetapi mendapatkan yang lain.

Kita semua pernah gagal dalam tes, menderita dalam cinta yang membuat frustrasi yang tidak berhasil, menyususn rencana bisnis yang kemudian gagal. Kata hasil” itulah yang digunan orang sukses, mereka tidak melihat kegagalan. Mereka tidak percaya kepada kegagalan. Itu tidak masuk hitungan mereka. Sukses merupakan kebalikan dari gagal. Sukses sesungguhnya hanyalah status sosial atau hanyalah sebuah prestasi yang telah dicapai dari suatu tujuan atau sasaran

Orang selalu sukses mendapatkan semacam hasil. Sukses-sukses super dari kebudayaan kita bukanlah orang yang tidak gagal, melainkan orang yang tahu bahwa mereka mencoba sesuatu dan tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan, mereka mendapatkan pengalaman belajar. Mereka gunakan apa yang telah mereka pelajari itu dan mencoba sesuatu yang lain saja. Mereka ambil tindakan-tindakan baru dan menghasilkan hasil-hasil baru. Abraham Lincoln paling tidak mengalami minimal 11 kegagalan besar sebelum menjadi Presiden. Asa Candler pembeli hak kemasan Coca-Cola pernah gagal memasarkan minuman pada pabrik soda pada 1899. Steve Jobs dengan tidak melisensikan sistem operasi Macintosh kepada pihak lain menjadi gagal menguasai sistem operasi dunia yang sekarang dipegang oleh Microsoft, bahkan Steve Jobs sendiri pernah didepak dari Apple. Akio Morita dari Sony juga pernah gagal karena tidak mau melisensikan video Betamax yang lebih baik dari VHS buatan Matshushita. Sekarng video yang ada adalah VHS, karena Matshushita mau melisensikan teknologinya kepada pihak lain. Warren Bennis dari Xerox pernah gagal karena memutuskan tidak menjual PC, padahal Xerox mempunyai teknologi lebih baik dibandingkan yang lainnya. Henry Ford gagal dalam memproduksi dan memasarkan kapal dan pesawat terbang dibandingkan dengan memproduksi dan memasarkan mobil. Soichiro Honda menyatakan bahwa yang diketahui orang lain tentang kesuksesannya itu hanya 1 % padahal kegagalannya 99% yang tidak diketahui orang.

Salah satu aset yang bermanfaat hari ini dibandingkan hari kemarin adalah pengalaman. Orang yang takut gagal akan berperilaku untuk tidak berbuat sesuatu yang mungkin tidak efektif. Inilah yang menghalangi mereka dari mengambil tindakan yang sebetulnya bisa menjamin tercapainya keinginan mereka. Orang yang percaya pada kegagalan itu hampir dijamin biasa-biasa saja keberadaannya. Kegagalan adalah sesuatu yang pokoknya tidak dipersepsikan oleh orang-orang yang mencapai kebesaran. Mereka tidak terpuruk oleh kegagalan. Mereka tidak melekatkan emosi-emosi negatif kepada sesuatu yang tidak efektif. Maka sesungguhnya kegagalan itu tidak ada, tetapi yang ada adalah hasil yang tidak sesuai dengan yang kita inginkan dan kesuksesan sejati adalah apabila kita dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan Tuhan.


Kiat Sukses Menjadi Entrepreneur Bagi Orang Biasa

Kiat Sukses Menjadi Entrepreneur Bagi Orang Biasa (33)

By M. Suyanto, STMIK AMIKOM Yogyakarta

Setelah memiliki sikap mental positif sebagai landasan untuk menjadi entrepreneur, menciptakan mimpi dan berusaha mengejarnya, mengambil langkah dengan memulai bisnis tanpa uang, mengetahui rahasia atau strategi melambungkan bisnis, maka langkah kelima adalah menerima kegagalan sebagai pelajaran. Kegagalan merupakan label yang seringkali kita hubungkan dengan suatu tindakan yang tidak berhasil dan begitu diterapkan, label ini membuat kita dikatakan orang yang tidak mampu atau orang yang gagal. Hal ini menurunkan semangat kita untuk menjadi orang yang sukses.

Pada saat kita masih kecil, kegagalan tidak mempunyai makna, karena kita tidak mempunyai konsep “kegagalan”. Jika kita memiliki konsep kegagalan, maka kita tidak akan dapat berbicara, karena kita hanya dapat menangis. Bila kita ingin minum susu ibu, maka kita cukup menangis, ibu kita sudah tahu. Bila kencing, kedinginan ataupun kepanasan cukup menangis langsung direspon oleh orang tua. Mulai sepatah kata yang tidak jelas meluncur dari mulut, meskipun tidak jelas kedua orang tua kita tidak menganggap bahwa merupakan kegagalan, bahkan sebaliknya merupakan keberhasilan, mereka sudah sangat senang, sehingga akhirnya kita dapat berbicara.

Demikian pula dari hanya bisa tidur terlentang, tengkurap, duduk, mulai merangkak, latihan berjalan dengan jatuh tidak terhitung jumlahnya. Orang di sekitar tidak mencemooh ketika jatuh, tidak mencaci ketika menangis kesakitan, tetapi memeluk, menciumi, menimang-nimang, menghibur, memotivasi untuk belajar berjalan kembali dengan susah payah, tetapi akhirnya kita dapat berjalan. Andaikata pada waktu kecil, kita mempunyai konsep “kegagalan” maka kita tidak akan pernah dapat berbicara, berjalan, menulis, membaca dan sebagainya. Kita sangat beruntung dan bersyukur kepada Allah mempunyai orang tua yang tidak mengajarkan konsep “kegagalan” ketika masih kecil. Memanglah, sesungguhnya kegagalan itu “tidak ada”, yang ada hanyalah hasilnya tidak sesuai dengan yang kita inginkan atau kegagalan itu hanyalah merupakan umpan balik untuk menggapai kesuksesan atau kegagalan itu hanyalah suatu informasi yang kita butuhkan dan berusaha untuk menggali lebih dalam agar kita dapat memanfaatkan untuk meraih kesuksesan.

Pengalaman saya ketika pertama kali diajarkan berjualan kedondong oleh Nenek saya, maka saya berjualan kedodong berangkat pagi menuju sekolah, kemudian menggelar selembar koran dan menjajakan kedondong di atas koran tersebut. Dari jam 6 pagi sampai jam 7 pagi, saat lonceng tanda masuk sekolah dibunyikan, tidak seorangpun yang membeli kedondong saya. Kemudian dagangan saya tersebut saya kemasi, kedondong bersama koran sebagai alas untuk berjualan, saya masukkan ransel sekolah. Dalam bahasa kita, tidak ada yang membeli adalah “kegagalan”, tetapi sesungguhnya memberi umpan balik atau informasi, tidak ada yang membeli kedodong di pagi hari, karena takut makan kedodong kalau perutnya sakit atau informasi bahwa karena pagi hari sudah sarapan, maka sudah kenyang dan sebagainya. Ketika waktu istirahat tiba, saya menggelar dagangan kembali. Ada dua gadis kecil kawan saya sekelas yang membeli kedondong, barangkali kasihan sama saya. “Berapa Yan harganya?” mereka bertanya. “Lima rupiah dapat tiga” jawab saya. “Diibuhi ya?” mereka meminta tambahan. “Ya. Silakan” jawab saya. Dua gadis kecil itulah yang membeli kedondong saya. Dari situlah, Yanto kecil itu tidak lagi menjual kedodong di pagi hari, ia akhirnya menjual kedodong di siang hari atau di sore hari. Demikian pula dalam dunia bisnis, kita juga dapat menggunakan konsep yang tidak mengenal kegagalan seperti pada saat masa kecil, maka Insya Allah kita akan berhasil dalam mengelola bisnis.

Belajar dari Penjual Koran (1)

;


Belajar dari Penjual Koran (1)
01 August 2008 | Topik: Metamorfosa

Sang penjual koran yang selalu rajin mengantarkan koran ke rumah saya. Lebih dari sepuluh tahun, saya setia menjadi pelanggannya. Kulitnya berwarna hitam kelam tersengat cahaya matahari setiap hari yang ditutupi dengan pakaian kebesaran jaket hitam lusuh dan topi untuk mengurangi sengatan matahari. Parfumnya tetesan keringat yang menempel pada wajahnya bagaikan orang yang baru saja menangis sejadi-jadinya. Tangan kanannya dihiasi oleh tanda dari Tuhan, yaitu tidak mempunyai jari. Wajahnya yang menjelang tua yang dihiasi beberapa helai uban, tetapi tetap memancarkan senyum yang bercahaya, bersemangat yang memperlihatkan dirinya seorang pekerja keras dan petarung yang pantang putus asa. Inilah pelajaran pertama yang kita peroleh dari seorang penjual koran.



Sebaliknya kita yang kulit kita seakan tak pernah bersentuhan dengan cahaya matahari, karena tertutup mobil yang mewah dan terlindung dari pakaian yang berharga mahal. Parfum dari Perancis yang mahal, dicuci bau harumnya masih kentara. Meskipun demikian kadangkala kita menebarkan senyum yang kecut dan merendahkan orang lain serta kadangkala menjadi seorang petarung yang mudah menyerah dan mudah putus asa dengan masalah yang sepele. Bekerja dengan penuh tekanan dan kurang bersyukur dari nikmat Tuhan yang sangat melimpah.
Saya teringat sebuah kisah tentang dua orang yang tangannya dicium oleh Rasulullah Saw. Orang tersebut pasti orang yang luar biasa, karena hanya dua orang saja dari seluruh orang di Semenanjung Arabia. Orang pertama yang tangannya dicium oleh Rasulullah Sawadalah Fatimah yang merupakan putri Rasulullah Saw sendiri.
Hal itu dilakukan karena Rasulullah Saw ingin menunjukkan bahwa wanita itu derajadnya tinggi dan sangat mulia, karena pada waktu itu wanita seakan-akan tidak berharga dan para bapak malu mempunyai anak wanita dan kadangkala anak tersebut dibunuhnya, sangat menyedihkan. Orang kedua adalah seorang berkulit hitam kelam dengan tangan yang melepuh. Rasulullah Saw bertanya, “Kenapa tanganmu melepuh seperti itu”. Jawab sahabat tersebut “Ya Rasulullah tanganku ini aku gunakan untuk membelah batu dengan kapakku agar aku bisa menghidupi keluargaku”. “Coba ulurkan tanganmu!” Rasulullah Saw memin- ta mengulurkan tangannya dan kemudi- an Rasulullah Saw menangkap tangan yang kotor dan melepuh tersebut dan menciumnya seakan beliau bersabda ini ada- lah tangan yang dicintai Allah yang tidak lain adalah tangan dari seorang pekerja keras. q - c
*) M Suyanto, Ketua STMIK Amikom.

Sarjana Pengangguran 2,6 Juta

Sarjana Pengangguran 2,6 Juta

Education | Fri, Jun 19, 2009 at 13:55 | Jakarta, matanews.com

snbwp/gi univ

snbwp/gi univ

Makin banyak sajaƂ sarjana lulusan perguruan tinggi Indonesia jadi pengangguran. Jumlahnya kini mencapai 2,6 juta orang dari angka total pengangguran nasional sekitar 40 juta. Sebanyak 1,2 juta dari sarjana jadi penganggur terbuka, 1,4 juta lainnya setengah pengangguran.

“Mereka merupakan lulusan perguruan tinggi baik sarjana maupun diploma,” kata Ketua Jurusan Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya Malang Kusdi Raharjo di Jakarta, Jumat (19/06). Sedangkan penyebab pengangguran karena minimnya lapangan kerja dan rendahnya tingkat keahlian.

Seharusnya, lulusan perguruan tinggi harus memiliki keahlian, misalnya di bidang wirausaha (bisnis). “Wirausaha adalah sangat efektif untuk mengurangi masalah pengangguran. Namun pelaku harus memiliki keahlian,” tandas Kusdi.

Dengan memilik keahlian wirausaha, maka akan bisa bersaing dengan yang lain termasuk serangan dari tenaga kerja luar negeri, di era globalisasi. Namun masalahnya, bagaimana mencetak wirausahawan baru.

Menurut Kusdi, salah satu upaya membentuk wirausahawan dengan membangun sekolah khusus yang menangani masalah bisnis. Selama ini di Indonesia kurang fokus dalam hal kurikulumnya.

Kurikulum sekolah bisnis, memang harus diperbaiki sesuai dengan kebutuhan seiiring dengan arus globalisasi. “Pemimpin-pemimpin perusahaan bisnis masih terus menginginkan supaya business school, mendesain ulang program studi bisnis untuk mengakomodir tantangan-tantangan globalisasi,” papar Guru Besar UI bidang Bisnis Internasional Ferdinand D Saragih.

Dia mencontohkan, kurikulum yang diinginkan oleh perusahaan bisnis, seperti yang diaplikasikan di Harvard Business School, MIT Sloan School of Management, Wharton School of Univesity of Pennsylvania serta INSEAD.(*o/a)

Solusi Atasi Sarjana Pengangguran

Solusi Atasi Sarjana Pengangguran

Headlines | Thu, Oct 8, 2009 at 03:08 | Bogor, matanews.com

agus_martowardojoSebanyak 900 ribu sarjana di Indonesia dinyatakan sebagai pengangguran terdidik, kata Direktur Utama (Dirut) PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Agus Martowardojo di Bogor, Rabu (7/10). Menurutnya, angka pengangguran tersebut terbilang sangat fantastis, karena berasal dari kelompok masyarakat yang mengenyam pendidikan tinggi.

Angka tersebut kayanya, bisa jadi ibarat permukaan gunung es, yakni hanya muncul di permukaannya dan angka sesungguhnya jauh lebih besar. “Sarjana nganggur yang tercatat sebanyak 900 ribu orang. Ini belum termasuk sarjana pengangguran terselubung,” papar Agus Martowardojo.

Tingginya populasi sarjana yang nganggur tersebut, membuat daftar pengangguran di Indonesia semakin banyak. Pasalnya, yang dinyatakan pengangguran terbuka mencapai angka yang sangat fantastis yaitu sembilan juta orang. “Masalah pengangguran perlu kita sikapi bersama agar tidak menambah berat beban negara ini ke depan,” imbuh dia.

Karena itu, Agus mengajak agar para pemangku kepentingan bahu membahu mengatasi persoalan ini secara perlahan-lahan. Caranya yakni dengan menumbuhkan minat berwirausaha. Bila angka wirausaha meningkat, maka pengangguran dengan sendirinya akan berkurang. “Wirausaha akan menciptakan lapangan kerja baru. Semakin banyak peminat wirausaha akan semakin baik bagi upaya penanggulangan pengangguran,” ujarnya.

Atasi Pengangguran Terdidik

Atasi Pengangguran Terdidik

Headlines | Fri, Aug 21, 2009 at 10:47 | Jakarta, matanews.com

ilustrasi/dok

Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Rusdy Muchtar mengatakan, pemerintah harus segera mencarikan jalan keluara mengingat belakangan ini angka pengangguran terdidik dari tahun ke tahun semakin bertambah. “Masalah ini harus segera dicarikan jalan keluarnya oleh pemerintah,” ujarnya di Jakarta, Jumat.

Menurut Rusdy, angka penggangguran terdidik melonjak naik diakibatkan beberapa hal, seperti lapangan kerja yang sempit, relasi lembaga pendidikan yang mendidik siswanya tidak punya jaringan dengan perusahaan, keterampilan siswa yang kurang, tidak adanya koordinasi antar Departemen Pendidikan dengan Departemen Tenaga Kerja dan Departemen perindustrian, dan karena dampak krisis ekonomi global.

Dikatakannya, beberapa problem tersebut harus segera diatasi pemerintahan SBY-Boediono ke depan, agar angka pengangguran terdidik bisa ditekan. “Salah satu faktor yang bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi 5% di tahun 2010 adalah mengurangi pengangguran terdidik ini,” tambahnya.

Seharusnya kata Rusdy, pemerintah harus menambah program kredit atau bantuan dana untuk mencetak pengusaha-pengusaha muda baru. Sebab menurutnya, hal ini bisa mendorong tenaga kerja terdidik untuk berkreasi dan menciptakan lapangan kerja baru.

Berdasarkan hasil survei BPS pada Februari 2009 lalu, angka penggangguran terdidik atau intelektual mencapai 1, 09 juta orang. Sementara itu kategori pengangguran terdidik adalah status sarjana dan diploma tamatan perguruan tinggi.(*z/edy)

Pengangguran Terdidik (1)


Pengangguran Terdidik (1)

erwin — February 11, 2008 / 8:26 pm

Fenomena pengangguran terdidik perlu mendapat perhatian serius dunia pendidikan dan dunia usaha. Pendidikan yang tinggi ditengarai tidak menghasilkan seseorang yang lebih berani mengambil risiko, justru mereka memilih menganggur daripada mengambil risiko. Di sisi lain, kualifikasi yang diminta perusahaan ternyata lebih banyak tidak dihasilkan dari pendidikan formal di bangku sekolah, tetapi dari kreativitas individu. Tak adanya link and match antara dunia pendidikan dan dunia usaha ini diperparah dengan sikap industri yang tak terlalu hirau pada peningkatan sumber daya manusia bangsa secara umum.

Makin Tinggi Pendidikan Makin Gampang Menganggur Jakarta, Kompas - Fenomena ironis yang muncul di dunia pendidikan adalah semakin tinggi pendidikan seseorang, probabilitas atau kemungkinan dia menjadi penganggur pun semakin tinggi. Fenomena ini perlu mendapat perhatian serius dari dunia pendidikan dan industri. Hal itu dikatakan pengamat pendidikan Darmaningtyas, Jumat (8/2). Menurut dia, hal itu melahirkan paradoks: dunia usaha mengeluhkan sulit mendapat tenaga kerja, di sisi lain lulusan sekolah dan perguruan tinggi kesulitan mendapat pekerjaan. ”Terlebih ada kecenderungan, semakin tinggi tingkat pendidikan semakin besar keinginan mendapat pekerjaan yang aman. Mereka tak berani ambil pekerjaan berisiko seperti wiraswasta, trainer, atau penulis. Mereka pilih menganggur,” ujarnya. Terbatasnya daya serap tenaga kerja sektor formal di satu pihak, dan di pihak lain terjadi percepatan pertambahan tenaga terdidik, juga menyebabkan posisi tawar sarjana di Indonesia amat rendah. Posisi para pencari kerja lulusan perguruan tinggi berada pada posisi dilematis; diterima dengan gaji rendah atau menolak pekerjaan dengan risiko menganggur. Mereka yang realistis memilih bekerja dengan gaji rendah daripada idealis namun menganggur selamanya. Darmaningtyas melakukan studi kasus pada iklan lowongan kerja di harian Kompas Minggu, 6 Januari 2008. Ada 405 lowongan pekerjaan, 4,19 persen mensyaratkan indeks prestasi minimum, lainnya menekankan pada kemampuan kerja individu dan tim, kemampuan berbahasa asing, terutama Inggris, kemampuan mengoperasikan program komputer, kemampuan berkomunikasi, dan pengalaman kerja. ”Itu justru tak diperoleh secara formal di bangku sekolah, sebaliknya didapat dari inisiatif dan kreativitas individu. Individu kreatif cenderung memiliki tingkat keberhasilan tinggi,” ujarnya. Lembaga pendidikan cenderung mengajarkan hafalan, kurang melihat konteks. Hal-hal seperti membangun jaringan, kreativitas, dan komunikasi kurang didapat dari sekolah. Pengamat pendidikan Prof Winarno Surachmad menambahkan, jurang antara lulusan perguruan tinggi dan dunia kerja adalah isu lama. Dia melihat hal itu lebih disebabkan tak adanya link and match dunia pendidikan dan usaha. Pemberi pekerjaan (industri) pun tak terlalu hirau pada peningkatan sumber daya manusia bangsa secara umum. (INE) Sumber: Kompas

Pengangguran Terdidik Capai 961.000 Orang


Pengangguran Terdidik Capai 961.000 Orang

Sumber : Suara Pembaruan

[JAKARTA] Jumlah pengangguran terdidik di Indonesia saat ini mencapai 961.000 orang. Hal itu berdasarkan data di Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) terhitung hingga Agustus 2008.

“Jumlah itu turun dari periode Februari 2008 lalu yang mencapai 1.146 juta orang,” kata Direktur Jenderal Pendidikan tinggi Depdiknas Fasli Jalal, di Jakarta, Kamis (12/3).

Menurut dia, jumlah penganggur yang 961.000 itu terbagi atas 598.000 penganggur sarjana dan 362.000 penganggur diploma. Jumlah penganggur, katanya, sangat tergantung pada perkembangan ekonomi, struktur investasi, dan kreativitas perguruan tinggi. “Harus ada pendidikan keterampilan yang diajarkan terus-menerus kepada mahasiswa,” katanya.

Untuk mengatasi jumlah pengangguran terdidik, lanjutnya, pemerintah menyediakan dana Rp 108 miliar untuk kewirausahaan. “Bukan hanya untuk perguruan tinggi negeri, tapi juga perguruan tinggi swasta, koordinasi perguruan tinggi swasta, dan politeknik,” katanya.

Jumlah penganggur tersebut tidak bekerja karena kompentensi tidak sesuai, lulusan yang tidak terserap, memilih untuk tidak bekerja, atau mahasiswa lulusan dari program studi yang sudah jenuh. “Lulusan dari program studi tersebut, sangat banyak, namun kurang dibutuhkan dalam dunia kerja,” katanya.

Belum Bersinergi

Dia mengemukakan, data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang melakukan survei dikaitkan dengan para pencari kerja. Dikatakan, jurusan dengan peminat yang besar namun tidak terserap itu, antara lain jurusan di fakultas ilmu sosial dan ilmu politik dan fakultas ekonomi.

Di tempat terpisah, pengamat pendidikan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Sudarnoto Abdul Hakim mengemukakan, antara dunia kerja, pemerintah, dan lembaga pendidikan, belum bersinergi. Karena itu, pemerintah harus mempererat hubungan tripartit.

Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Bedjo Sujanto menyatakan, di kampusnya terdapat mata kuliah kewirausahaan, dan ada pula bantuan dasar modal usaha untuk 50 orang mahasiswa per tahunnya, yang diberikan atas kerja sama dengan salah satu bank swasta. [W-12]

Fenomena Angkatan Kerja & Pengangguran Terdidik



Fenomena Angkatan Kerja:


*"Tahun 2009 ada 116,5 juta orang di Negeri ini serbu pasar kerja !!"*
SERAM! Kondisi sebagaiman judul di atas akan melanda negeri ini tahun 2009.
Ketika itu dari perkiraan jumlah penduduk 228,9 juta orang, sebanyak 168,9
juta jiwa atau 73,3 persen diantaranya merupakan penduduk usia kerja. Dari
jumlah ini, 116,5 juta orang atau 69 persen dari penduduk usia kerja
dipastikan menyerbu pasar kerja sehingga sangat "menakutkan" karena
pertumbuhan ekonomi belum jelas besarannya. (sumber :
kompas<
http://www.kompas. co.id/

Pengangguran Terdidik

Jumlah Perguruan Tinggi di Indonesia saat ini 2.874. Berapa sarjana yang
diluluskan setiap tahun oleh masing-masing Perguruan Tinggi tersebut? Yang
pasti angkanya bervariasi. Mungkin berkisar antara 500 s/d 8000. Kita
asumsikan saja setiap perguruan tinggi meluluskan 1000 Sarjana. Berarti
2.874 X 1000 = 2.874.000 orang Sarjana yang dicetak Indonesia setiap
tahunnya. Lalu berapa orang sarjana yang dibutuhkan oleh negeri ini setiap
tahun atau yang dapat diserap di dunia kerja? Secara pasti data tersebut
tidak diketahui. Dahulu, seorang menteri mengatakan bahwa Indonesia setiap
tahunnya membutuhkan 75.000 sarjana. Jika angka ini benar, berapa sarjana
yang menganggur dalam setiap tahunnya. Coba saja dihitung, 2.874.000 -
75.000 = 2.799.000 orang sarjana yang menganggur setiap tahunnya.Jumlah yang
tidak sedikit...

http//www.eka-bakulmie.blogspot.com

PENDIDIKAN, PENGANGGURAN DAN PENGANGGURAN TERDIDIK



PENDIDIKAN, PENGANGGURAN DAN

PENGANGGURAN TERDIDIK

A. Pendahuluan
Masalah kependidikan yang serius dihadapi oleh negara berkembang pada umumnya, antara lain berkisar pada masalah mutu pendidikan, kesiapan tenaga pendidik, fasilitas, dan lapangan pekerjaan. Membidik masalah yang terakhir, dengan tidak bermaksud mengecilkan arti ketiga masalah lainnya, memiliki greget yang lain. Kekurangtersediaan lapangan pekerjaan akan berimbas pada kemapanan sosial dan eksistensi pendidikan dalam perspektif masyarakat.

Pada masyarakat yang tengah berkembang, pendidikan diposisikan sebagai sarana untuk peningkatan kesejahteraan melalui pemanfatan kesempatan kerja yang ada. Dalam arti lain, tujuan akhir program pendidikan bagi masyarakat pengguna jasa pendidikan, adalah teraihnya lapangan kerja yang diaharpkan. Atau setidak-tidaknya, setelah lulus dapat bekerja di sektor formal yang memiliki nilai "gengsi" yang lebih tinggi di banding sektor informal.

Dengan demikian, keterbatasan lapangan pekerjaan sehingga berpotensi untuk tidak dapat tertampungnya lulusan program pendidikan di lapangan kerja, secara linear berpotensi menggugat eksistensi dan urgensi pendidikan dalam perspektif masyarakat. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan secara signifikan terhadap eksistensi lembaga pendidikan.

Lapangan pekerjaan merupakan indikator penting tingkat kesejahteraan masyarakat dan sekaligus menjadi indikator keberhasilan penyelenggaraan "pendidikan". Maka merembaknya isyu pengangguran terdidik menjadi sinyal yang cukup mengganggu bagi perencana pendidikan di negara-negara berkembang pada umumnya, khususnya juga di Indonesia.

Sementara dampak sosial dari jenis pengangguran ini relatif lebih besar. Kelompok ini memiliki "daya gerak" yang cukup besar untuk menciptakan dinamika dalam masyarakat. Mengingat kompleksnya masalah ini, maka upaya pemecahannyapun tidak sebatas pada kebijakan sektor pendidikan saja, namun merembet pada masalah lain secara multi dimensional.

Tulisan ini mencoba memperjelas permasalahan yang ada pada jenis pengangguran ini dan alternatif pemecahan macam apa yang harus dilakukan guna mengatasi masalah pengangguran terdidik ini, dilihat dari perspektif pendidikan. Khususnya dalam konstelasi penyelenggaraan pendidikan di lembaga pendidikan tinggi keguruan (LPTK).

B. Pengangguran Terdidik
Pengangguran merupakan masalah serius yang dihadapi dalam pembangunan sumber daya manusia yang tengah dilakukan saat ini. Krisis ekonomi yang kini dihadapi ternyata telah memporakporandakan tatanan kehidupan bangsa. Indikasi kerusakan itu terlihat pada jumlah penduduk miskin dan pengangguran yang membengkak dalam waktu yang relatif singkat. data Bappenas menunjukkan pada tahun 1998 penduduk miskin telah mencapai 80 juta orang, yang berarti mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yang hanya 22,4 juta orang saja. Selanjutnya data BPS pun mencatat angka pengangguran pada tahun 1999 sebesar 6,37 juta orang. Yang kemudian di akhir 1999, jumlah pengangguran semakin membengkak, yakni mencapai 14 juta orang dan tenaga kerja setangah menganggur mencapai 35 juta orang.

Fenomena pengangguran sering menyebabkan timbulnya masalah sosial lainnya. Di samping tentu saja akan menciptakan angka produktivitas sosial yang rendah, dimana pada gilirannya akan menurunkan tingkat pendapatan masyarakat.

Salah satu bentuk pengangguran yang populer dewasa ini adalah pengangguran terdidik. Kekurangselarasan antara perencanaan pembangunan pendidikan dengan perkembangan lapangan kerja merupakan penyebab utama terjadinya jenis pengangguran ini. Pengangguran terdidik secara potensial dapat menyebabkan (1) timbulnya masalah-masalah sosial dengan tingkat rawan yang lebih tinggi. (2) menciptakan pemborosan sumber daya pendidikan. (3) menurunkan apresiasi masyarakat terhadap pendidikan.

Apresiasi ini sebenarnya harus menjadi "Conditio sine Quanon" untuk pembangunan SDM. Sulit dibayangkan SDM berkualitas akan tercapai bila tidak disertai oleh meningkatnya angka partisipasi kasar (APK) pendidikan. Dan akan sangat muskil APK meningkat, bila tidak disertai oleh apresiasi masyarakat yang tinggi terhadap pendidikan.

Tabel 1

Perkembangan APK Perguruan Tinggi

PERIODE
TAHUN
MAHASISWA
PENDUDUK

19 - 24 Age

APK (%)
Seb.Repelita

Repelita I

Repelita II

Repelita III

Repelita IV

Repelita V

1968

1973

1978

1983

1988

1992

156.500

231.000

342.166

823.925

1.356.756

1.795.500

9.705.000

11.962.000

14.747.000

15.667.600

19.464.700

21.288.100

1.61

1.93

2.32

5.26

6.97

8.43

Sumber : Pusat Informatika, Balitbang Dikbud

Menurunnya apresiasi masyarakat terhadap pendidikan itu di , ditandai oleh: (a) berkurangnya jumlah siswa (di samping akibat keberhasilan KB), (b) meningkatnya jumlah tenaga kerja (TK) unskill and uneducated dalam sektor sekunder, (c) rendahnya angka melanjutnya pendidikan (di Jawa Barat hanya 57% lulusan SD meneruskan ke SMP), (d) meningkatnya jumlah pengguna jasa pendidikan luar negeri.

Pengangguran terdidik terjadi antara lain sebagai akibat dari lemahnya perencanaan pendidikan. Di samping sebagai akibat langsung dinamika ekonomi masyarakat dan krisis ekonomi yang dihadapi. Lemahnya perencanaan pendidikan dapat dilihat dari ketidaksesuaian supply dan demand lulusan lembaga pendidikan. Telah terjadi gap yang sangat lebar antara keluaran, baik jumlah maupun kompetensi, dengan harapan lapanga kerja. Sehingga gap ini menciptakan barisan pengangguran yang semakin panjang di kalangan kelompok terdidik. Dan barisan ini dari tahun ketahun semakin panjang, apalagi diperparah oleh menurunnnya kinerja ekonomi sebagai akibat dari krisis.

C. Masalah Supply dan Demand
Secara empiris yelah terjadi kekurang-sepadanan antara Supply dan Demand keluaran pendidikan. Dalam arti lain, adanya kekurangcocokan kebutuhan dan penyediaan tenaga kerja, dimana friksi profil lulusan merupakan akibat langsung dari perencanaan pendidikan yang tidak berorentasi pada realitas yang terjadi dalam masyarakat. Pendidikan dilaksanakan sebagai bagian parsial, terpisah dari konstelasi masyarakat yang terus berubah. Pendidikan diposisikan sebagai mesin ilmu pengetahuan dan teknologi, cenderung lepas dari konteks kebutuhan masyarakat secara utuh.

Hal-hal tersebut dapat dilihat dari berbagai friksi, antara lain, friksi tingkat pendidikan, friksi komptensi, dan friksi substansi.

Pertama, friksi tingkat pendidikan ditandai oleh kekurangsesuaian antara kebutuhan, terhadap lulusan suatu tingkat pendidikan tertentu, dengan persediaannya. Friksi ini menyebabkan ketidakseimbangan dalam bursa kerja dan menyebabkan menumpuknya lulusan program pendidikan pada tingkat tertentu, namun justru kekurangan pada segmen yang lainnya. Mengenai hal itu dapat dilihat pada tabel 2, dimana kebutuhan tenaga kerja dengan kualifikasi tamat SD, tamat SLTP, dan tamat SLKTP sejauh ini masih mengalami kekurangan. Khusus untuk SLKTP, kenyataan itu sangat ironis, mengingat hampir dua dasa warsa terakhir lembaga pendidikan yang menghasilkan lulusan dengan kualifikasi ini, SMEP, ST, SKKP dan sejenisnya, malah telah ditutup.

Tabel 2
Analisis Keseimbangan antara Kebutuhan dan Penyediaan Tenaga Kerja menurut Tingkat Pendidikan Sampai Pelita VI


NO
TINGKAT PENDIDIKAN
KEBUTUHAN (000)
%
PERSEDIAAN (000)
%
KESEIMBANGAN(000)
1

2

3

4

5

6

7

8

9

Tidak sekolah

Tid. tamat SD

Tamat SD

Tamat SMP

Tamat SLKTP

Tamat SMU

Tamat SMK

Tamat PT (S0)

Tamat PT (S1)

-3.900.1

954.7

8.429.5

2.164.1

382.7

1.411.9

1.551.0

343.7

173.2

-33.9

8.3

73.2

18.8

3.3

12.3

13.5

3.0

1.5

0.0

1.817.2

2.530.2

2.104.0

153.4

2.191.0

2.041.8

393.3

630.6

0.0

15.3

21.3

17.7

1.3

18.5

17.2

3.3

5.3

*)

862.5

-5.899.3

-60.1

-229.3

779.1

490.8

49.6

457.4

Jumlah
11.510.7
100
11.861.5
100
350.8

Sumber: Bappenas, Depdikbud, Depnaker, dan BPS, 1993

Sementara pada tingkat pendidikan di atasnya, jumlah permitaan dengan persediaan yang ada, cenderung jumlah persediaan lebih tinggi dibanding kebutuhan. Sebenarnya bisa dilakukan menurunan kualifikasi untuk kepentingan penyerapan kesempatan kerja, namun justru disitulah eksistensi pendidikan terganggu dalam persepsi masyarakat.

Kenyataan tersebut sama sekali tidak menapik keberhasilan pembangunan pendidikan, sehingga tingkat pendidikan masyarakat lebih meningkat. Namun, masalahnya terletak pada perencanaan pendidikan yang tidak melihat pendidikan sebagai wacana yang dipenuhi oleh disparitas, baik pada tataran input, proses, maupun output.

Kedua, friksi komptensi sebagai akibat lemahnya perencanaan penetapan bidang keilmuan. Polarisasi yang tajam antara program pendidikan eksak dan non-eksak menyebabkan lulusan dengan kompetensi tertentu lebih banyak menganggur ketimbang pada program kompetensi lainnya. Penjurusan yang kaku serta sikap arogansi keilmuan telah membawa lulusan suatu lembaga pendidikan terpojok pada satu sisi yang "gelap" tanpa memiliki pilihan yang lain.

Angkatan kerja dengan kualifikasi kompetensi pada ilmu-ilmu sosial dan juga ilmu kependidikan ternyata telah berlebih dan memberikan kontribusi yang bermakna pada penciptaan angka pengangguran. Sarjana ilmu-ilmu sosial memberikan kontribusi di atas 50% terhadap angka pengguran, dan sarjana pendidikan memberikan kontribusi sebanyak 15%, pada akhir Pelita V.

Tabel 3
Distribusi Pengangguran Terdidik (Lulusan S1)
berdasarkan Bidang Keilmuan Sampai Pelita V


BIDANG
1983
1984
1985
1986
No
KEILMUAN
JML
%
JML
%
JML
%
JML
%
1

2

3

4

5

6

7

Ilmu Pasti-Alam

Teknologi

Ilmu Pertanian

Ilmu Kesehatan

Ilmu-Ilmu Sosial

Ilmu Kependidikan

Lainnya

159

416

1.055

430

3.050

1.257

196

2.42

6.34

16.07

6.55

46.47

19.15

2.99

166

784

859

356

10.727

860

1.393

0.77

5.18

5.92

2.35

70.89

5.68

9.21

169

507

1.818

316

8.868

3.175

1.355

1.04

3.13

11.22

1.95

54.71

19.59

8.36

277

1.211

1.706

414

10.054

2.664

1.004

1.60

6.99

9.84

2.39

58.02

15.57

5.79

Sumber : Analisis Pasar Kerja, Departemen Tenaga Kerja, 1987

Dengan demikian sudah saatnya jurusan atau program studi yang berada di rumupun itu dikurangi. Dan sumberdaya pendidikannnya disalurkan pada jurusan atau program studi lain yang masih belum jenuh. Perubahan IKIP menjadi universitas merupakan langkah yang tepat dalam konteks ini, namun dalam prakteknya masih dihadapi kebingungan karena konflik kepentingan dalam manajemen IKIP itu sendiri.

Ketiga, friksi substansi berawal dari validitas dan realibilitas kurikulum -contents- terhadap tujuan pembelajaran. Sejauh ini terdapat gejala contardicio internemis antara kurikulum dengan nama lembaga yang disandangya. Hal ini tidak semata kesalahan perangkat yang ada pada sistem pendidikan, namun bisa juga sebagai akibat intervensi kepentingan di luar pendidikan -misal, politik- dalam pendidikan.

Tabel 4 membuktikan adanya distorsi antara substansi tujuan pembelajaran dengan pencapainnya. Sekolah menengah kejuruan -SMEA atau STM- pada dasarnya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan lapangan kerja, sedang SMU diarahkan untuk meneruskan ke jenjang lebih tinggi. Namun pada pada tabel 3 terlihat bahwa lulusan sekolah kejuruan lebih relatif lama menganggur ketimbang lulusan SMU.

Hal ini tidak semata kesalahan perangkat sistem pendidikan, namun juga kemungkinan adanya distorsi lain dalam sistem sosial kita. Akan tetapi kenyataan tersebut memberikan indikasi bahwa kinerja lulusan SMK dengan SMU tidak memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Sehingga lapangan kerja yang semestinya secara substansial hanya bisa diisi oleh lulusan SMK ternyata juga bisa diisi oleh lulusan SMU.

Tabel 4
Persentase Lamanya Menganggur bagi Lulusan Jenis Pendidikan
yang Berbeda di Pendidikan Menengah
Jenis Sekolah
Lang-sung
0-3 Bulan
4-6 Bulan
7-9 Bulan
10-12 Bulan
13-15 Bulan
16-18 Bulan
> 18 Bulan
Jumlah Kasus
SMA

Negeri

Swasta

SMEA

Negeri

Swasta

STM

Negeri

Swasta

Total

Negeri

Swasta

3,1

4,6

2,6

3,7

3,1

3,5

11,8

11,8

6,1

7,6

12,9

12,8

12,7

12,4

11,8

11,8

7,6

6,9

10,0

11,3

8,9

10,5

9,1

10,4

15,3

14,5

11,7

12,8

10,0

8,7

11,8

11,2

17,6

13,7

13,8

11,8

14,7

11,0

14,7

11,7

20,6

12,2

16,0

16,0

16,2

19,2

16,9

16,9

9,9

15,3

12,6

10,2

14,3

16,6

12,7

13,8

19,8

25,2

20,3

21,5

20,1

18,0

20,2

20,4

131

131

349

382

259

427

739

940

Sumber : Analisis Pasar Kerja, Departemen Tenaga Kerja, 1987

D. Investasi Pendidikan
Investasi, pelayanan, pendapatan masyarakat, dan penghargaan terhadap lulusan telah menjadi simpul-simpul dalam rentang masalah mutu lulusan program pendidikan. Penghasilan masyarakat yang rendah tidak mempu menciptakan investasi yang besar dalam pendidikan, keadaan itu menyebabkan rendahnya pelayanan pendidikan sekaligus berkorelasi dengan kinerja lulusan dan rendahnya penghargaan terhadap lulusan. Dan pada akhirnya menyebabkan rendah pula penghasilan dan kepercayaan diri tenaga kerja terdidik.

Meningkatnya tingkat pendapatan masyarakat pada tahun 1995 sebesar 925 $ /perkapita/tahun dan akhir Pelita VI di atas 1000 $, namun kemudian terpuruk sampai 600 $ akibat krisis, menyebabkan melemahnya tabungan dan investasi masyarakat khususnya untuk pendidikan. Semenetara alokasi untuk sektor pendidikan dalam APBN juga masih relatip kecil. Dibanding dengan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Singapura bahkan dengan Filipina alokasi anggaran kita yang masih di bawah 10% jelas sangat kecil, Indonesia 8%, sementara negara ASEAN lainnya 25%. Lemahnya investasi pendidikan akan berakibat terhadap mutu proses dan mutu lulusan.

Sementara akibat dari pembangunan kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan semakin meningkat. Bila kebutuhan ini tidak diimbangi dengan perbaikan mutu penyelenggaraan pendidikan di dalam negeri, masyarakat berpenghasilan tinggi akan berpaling lebih dalam lagi pada pelayanan jasa pendidikan di luar negeri. Keadaan ini jelas akan merugikan ekonomi negara dan khususnya akan lebih melemahkan investasi pendidikan.

Rendahnya investasi pendidikan telah memposisikan kegiatan pendidikan sebagai mesin penghasil manusia "berijazah" namun miskin kompentensi. Lulusan lembaga pendidikan menjadi produk massa, dan program pendidikan lebih diarahkan sebagai program populis ketimbang sebagai program sistimatis untuk meningkatkan mutu SDM. Hal ini tidak terlepas dari tarik menarik kepentingan pendekatan kualitas dan kuantitas dalam kebijakan pendidikan kita.

E. Alternatif Pemecahan
Dari diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa permasalahan pengangguran terdidik bermula dari permasalahan mikro, yakni kebijakan manajemen pembelajaran, dan dapat bermula dari permasalahan makro, yakni kebijakan pendidikan secara nasional. Dalam konteks itu, maka opsi pemecahan masalah harus dimulai dari kedua pendekatan itu. Atau setidak-tidaknya, opsi pemecahan masalah seyogyanya bersifat komprehensif dengan mempertimbangkan kedua hal tu secara berimbang. Sehingga dalam action plan yang dibuat, juga seyogyanya, mempertimbangkan sinergitas berbagai komponen yang langsung maupun tidak langsung berkait dengan masalah tersebut.

Untuk kepentingan itu, maka disarankan berbagai pemikiran untuk pemecahan masalah pengangguran terdidik antara lain sebagai berikut:

Pertama, melaksanakan reorentasi lembaga pendidikan, reorentasi itu menyangkut, (1) reorentasi pendekatan, (2) reorentasi program, dan (3) reorentasi kelembagaan.

1. Reorentasi pendekatan, khususnya dalam memodifikasi pendekatan dari kuantitatif menjadi kuantitatif-kualitatif. Dalam arti pendekatan pemerataan harus diimbangi secara proporsional dengan perhatian terhadap mutu proses dan hasil pendidikan. Dengan demikian, secara bertahap mutu lulusan dapat lebih diterima dunia kerja dan secara absolut mampu mengimbangi laju dinamika dunia kerja.

Konsekwensi dari pada itu, pendidikan harus dilihat sebagai upaya rasional. Dalam arti lain pendidikan harus dilihat sebagai proses investasi bukan lagi proses konsumtif. Sehingga pesan-pesan dan kepentingan yang berada di luar kepentingan pendidikan harus mulai dihapus. Dan campur tangan, dari pihak manapun, yang kurang proporsional dengan upaya peningkatan kualitas program pendidikan sebaiknya dihindari.

Guru harus dihargai sebagai perkerjaan profesional yang memiliki hak untuk memanfaatkan "bargaining position" nya secara bermartabat. Karena dengan kesadaran profesional seperti itu, guru secara lebih aktif dapat memberikan kontribusinya terhadap perbaikan kualitas proses pembelajaran.

2. Reorentasi program, memberdayakan program "link and match" melalui "cooperative education" dan "dual system" dalam kurikulum. Untuk itu perlu peningkatan kemampuan dalam pembobotan kurikulum, mutu tenaga pengajar, dan kepedulian dunia kerja.

Lembaga pendidikan merupakan sub sistem dari sistem sosial pembangunan, oleh itu keberadaan dan eksistensinya tidak lepas dari sub sistem lainnya. Dengan demikian sharing ide maupun aktivitas lainnya yang bernuansa sinergi dengan komponen lain hendaknya harus merupakan bagian tak terpisahkan dari program perbaikan sinambung (countinues improvement) program pembelajaran. Pengabaian dari fakta tersebut hanya menciptakan "menara gading" yang tidak memiliki manfaat yang berarti bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat secara umum, khususnya bagi penciptaan kesiapan lulusan untuk berkiprah dalam dunia kerja.

3. Reorentasi kelembagaan, perlu mengkaji ulang keberadaan lembaga pendidikan yang memiliki tingkat kejenuhan untuk lulusannya di lapangan kerja. Konversi IKIP ke dalam Universitas merupakan langkah kongkrit yang perlu terus dilaksanakan secara konsisten, konversi itu berimplikasi pada menurunnya jumlah penawaran tenaga pengajar yang secara langsung akan menyebabkan meningkatnya penghargaan dan harkat hidup tenaga pendidik. Kebijaksanaan konversi ini pun dapat dilakukan untuk lembaga pendidikan lainnya terutama pada bidang keilmuan yang sudah jenuh.

Kedua, Investasi sosial (peningkatan anggaran pendidikan) sebagai perangsang investasi individual. Untuk mengatasi kebocoran devisa akibat larinya dana pendidikan masyarakat berpenghasilan tinggi ke luar negeri, perlu diupayakan pendirian sekolah unggulan baik yang dibiayai oleh swasta maupun pemerintah. Untuk itu perlu seperangkat kebijakan guna lebih memperlancar program tersebut, di antaranya: (a) regulasi pengelolaan pendidikan, dan (b) meningkatkan investasi pemerintah lewat peningkatan anggaran pendidikan.

Ketiga, sebagai salah satu alternatif untuk memperluas kesempatan kerja bagi tenaga kerja terdidik perlu diperluas kesempatan berkembangnya sektor informal. Daya serap sektor ini cukup besar dan memiliki kemampuan yang tak terbatas. Pelita IV 56% TK terserap di sektor ini sementara sektor formal terutama bidang jasa memiliki kemampuan serap yang sangat terbatas. Berbagai kebijaksanaan untuk memberi peluang berkembang sektor informal harus terus diupayakan dengan tidak mengurangi usaha penanganan ekses negatif dari berkembangnya sektor ini.

F. Implementasi pada Program Studi Matematika

Program studi matematika pada LPTK pada dasarnya mencetak tenaga kependidikan untuk bidang studi matematika. Dengan orentasi khusus, pada penyediaan tenaga guru untuk pendidikan dasar dan menengah. Parsialisasi kompetensi dan spesialisasi secara linear memberikan jaminan terciptanya fokus profesionalisme dan kepastian pekerjaan bagi lulusan. Namun bila dilihat dari kecenderungan kesempatan kerja pada milenium ketiga yang mengarah pada sistem terbuka. Maka eklusivitas profesi menjadi sesuatu yang perlu dikaji ulang.

Sistem terbuka pada dunia kerja di masa mendatang akan bercirikan hubungan kerja yang longgar, dan malahan outsourching, dengan mekanisme kontrak yang lebih banyak dijalankan. Sehingga turn over dalam pekerjaan akan semakin terbuka, sehingga kompentensi yang dimiliki seyogyanya bersifat generalis sehingga memungkinkan pindah profesi secara cepat.

Apabila program studi matematika bersipat eklusif, atau hanya mencetak tenaga guru matematika, maka sangat sulit bagi lulusannya dikemudian hari untuk melakukan pindah pekerjaan. Apalagi, dengan hanya mengandalkan untuk menjadi PNS, karena peluang untuk semakin lama akan semakin berkurang sebagai konsekwensi dari kebijakan zero growth. Dan percepatan ke arah itu lebih terlihat dengan diberlakukannya otonomi daerah. Sementara yayasan-yayasan pendidikan dasar dan menengah belum begitu tertarik dalam perekrutan tanaga kerja dengan sistem tertutup.

Melihat kondisi di atas, sebaiknya apabila momentum perubahan IKIP menjadi UPI digunakan sebaik mungkin, khususnya dalam menata ulang kurikulum dan visi pengelola manajemen. Hanya dengan itulah, masalah pengangguran terdidik yang berlatar belakang keilmuan pendidikan matematika dapat dihindari sedini mungkin. Penataan ulang kurikulum, sejauh mungkin memuat nilai antisipatif terhadap kecenderungan dunia kerja di masa yang akan datang. Sedang menyangkut visi sebaiknya diarahkan pada fokus bahwa pendidikan merupakan keputusan investatif bukan hanya sekedar konsumtif.

Penutup

Penerapan konsep manajemen mutu dalam penyelenggaraan pendidikan memuat kandungan tentang sistem kerja yang terintegrasi antara dunia pendidikan tinggi dengan pengguna. Keluaran perguruan tinggi seyogyanya memiliki nilai relevansi dan koherensi yang tinggi dengan dunia kerja, sehingga kesan "pemborosan" pada pendidikan tinggi di Indonesia dapat ditepis, dan secara makro pengguran terdidik dapat ditekan. Kondisi itu dapat terwujud lebih cepat, bila pembenahan manajemen internal didukung oleh komitmen pemerintah yang kuat khususnya dalam penyediaan anggaran yang memadai.

Pustaka

Wahjoetoemo (1995), Manajemen Perguruan Tinggi pada Era Global, Grasindo, Jakarta.

___________ (1993), Deregulasi Pendidikan, Grasindo, Jakarta

Unmer Malang (1994), Menuju Manajemen Perguruan Tinggi yang Efisien, Rumusan Hasil Seminar, 27-28 Juli 1994, Malang.

___________ (1996), Mempersiapkan Mutu Perguruan Tinggi Menuju Kualitas Global, Kumpulan Makalah Seminar Nasional 11-13 November 1996, Malang.

Depdikbud (1995), Pembangunan Pendidikan Nasional Dalam Repelita VI, Jakarta.

Unmer Malang, Kumpulan makalah Hasil Seminar Nasional "Mutu PTS menjelang Era Globalisasi", 1996.
Unmer Malang, Laporan Hasil Seminar "Menuju Manajemen PTS yang Efisien", 1995.

PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN


PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN

A. PENGANGGURAN

Pengangguran adalah seseorang yang tergolong angkatan kerja dan ingin mendapat pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Masalah pengangguran yang menyebabkan tingkat pendapatan nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mencapai potensi maksimal yaitu masalah pokok makro ekonomi yang paling utama.

I. JENIS-JENIS PENGANGGURAN

Pengangguran sering diartikan sebagai angkatan kerja yang belum bekerja atau tidak bekerja secara optimal. Berdasarkan pengertian diatas, maka pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu :

1. Pengangguran Terselubung (Disguissed Unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena suatu alasan tertentu.

2. Setengah Menganggur (Under Unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak ada lapangan pekerjaan, biasanya tenaga kerja setengah menganggur ini merupakan tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu.

3. Pengangguran Terbuka (Open Unemployment) adalah tenaga kerja yang sungguh-sungguh tidak mempunyai pekerjaan. Pengganguran jenis ini cukup banyak karena memang belum mendapat pekerjaan padahal telah berusaha secara maksimal.

Macam-macam pengangguran berdasarkan penyebab terjadinya dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yaitu :

a. Pengangguran konjungtural (Cycle Unemployment) adalah pengangguran yang diakibatkan oleh perubahan gelombang (naik-turunnya) kehidupan perekonomian/siklus ekonomi.

b. Pengangguran struktural (Struktural Unemployment) adalah pengangguran yang diakibatkan oleh perubahan struktur ekonomi dan corak ekonomi dalam jangka panjang. Pengangguran struktuiral bisa diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, seperti :

* Akibat permintaan berkurang

* Akibat kemajuan dan pengguanaan teknologi

* Akibat kebijakan pemerintah

c. Pengangguran friksional (Frictional Unemployment) adalah pengangguran yang muncul akibat adanya ketidaksesuaian antara pemberi kerja dan pencari kerja. Pengangguran ini sering disebut pengangguran sukarela.

d. Pengangguran musiman adalah pengangguran yang muncul akibat pergantian musim misalnya pergantian musim tanam ke musim panen.

e. Pengangguran teknologi adalah pengangguran yang terjadi akibat perubahan atau penggantian tenaga manusia menjadi tenaga mesin-mesin

f. Pengangguran siklus adalah pengangguran yang diakibatkan oleh menurunnya kegiatan perekonomian (karena terjadi resesi). Pengangguran siklus disebabkan oleh kurangnya permintaan masyarakat (aggrerat demand).

II. SEBAB-SEBAB TERJADINYA PENGGANGURAN

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pengganguran adalah sebagai berikut:

1. Besarnya Angkatan Kerja Tidak Seimbang dengan Kesempatan Kerja

Ketidakseimbangan terjadi apabila jumlah angkatan kerja lebih besar daripada kesempatan kerja yang tersedia. Kondisi sebaliknya sangat jarang terjadi.

2. Struktur Lapangan Kerja Tidak Seimbang

3. Kebutuhan jumlah dan jenis tenaga terdidik dan penyediaan tenaga terdidik tidak seimbang

Apabila kesempatan kerja jumlahnya sama atau lebih besar daripada angkatan kerja, pengangguran belum tentu tidak terjadi. Alasannya, belum tentu terjadi kesesuaian antara tingkat pendidikan yang dibutuhkan dan yang tersedia. Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan sebagian tenaga kerja yang ada tidak dapat mengisi kesempatan kerja yang tersedia.

4. Meningkatnya peranan dan aspirasi Angkatan Kerja Wanita dalam seluruh struktur Angkatan Kerja Indonesia

5. Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Kerja antar daerah tidak seimbang

Jumlah angkatan kerja disuatu daerah mungkin saja lebih besar dari kesempatan kerja, sedangkan di daerah lainnya dapat terjadi keadaan sebaliknya. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan perpindahan tenaga kerja dari suatu daerah ke daerah lain, bahkan dari suatu negara ke negara lainnya.

III. DAMPAK-DAMPAK PENGANGGURAN TERHADAP PEREKONOMIAN

Untuk mengetahui dampak pengganguran terhadap per-ekonomian kita perlu mengelompokkan pengaruh pengganguran terhadap dua aspek ekonomi , yaitu:

a. Dampak Pengangguran terhadap Perekonomian suatu Negara

Tujuan akhir pembangunan ekonomi suatu negara pada dasarnya adalah meningkatkan kemakmuran masyarakat dan pertumbuhan ekonomi agar stabil dan dalam keadaan naik terus.

Jika tingkat pengangguran di suatu negara relatif tinggi, hal tersebut akan menghambat pencapaian tujuan pembangunan ekonomi yang telah dicita-citakan.

Hal ini terjadi karena pengganguran berdampak negatif terhadap kegiatan perekonomian, seperti yang dijelaskan di bawah ini:

§ Pengangguran bisa menyebabkan masyarakat tidak dapat memaksimalkan tingkat kemakmuran yang dicapainya. Hal ini terjadi karena pengangguran bisa menyebabkan pendapatan nasional riil (nyata) yang dicapai masyarakat akan lebih rendah daripada pendapatan potensial (pendapatan yang seharusnya). Oleh karena itu, kemakmuran yang dicapai oleh masyarakat pun akan lebih rendah.

§ Pengangguran akan menyebabkan pendapatan nasional yang berasal dari sector pajak berkurang. Hal ini terjadi karena pengangguran yang tinggi akan menyebabkan kegiatan perekonomian me-nurun sehingga pendapatan masyarakat pun akan menurun. Dengan demikian, pajak yang harus dibayar dari masyarakat pun akan menurun. Jika penerimaan pajak menurun, dana untuk kegiatan ekonomi pemerintah juga akan berkurang sehingga kegiatan pembangunan pun akan terus menurun.

§ Pengangguran tidak menggalakkan pertumbuhan ekonomi. Adanya pengangguran akan menye-babkan daya beli masyarakat akan berkurang sehingga permintaan terhadap barang-barang hasil produksi akan berkurang. Keadaan demikian tidak merangsang kalangan Investor (pengusaha) untuk melakukan perluasan atau pendirian industri baru. Dengan demikian tingkat investasi menurun sehingga pertumbuhan ekonomipun tidak akan terpacu.

b. Dampak pengangguran terhadap Individu yang Meng-alaminya dan Masyarakat

Berikut ini merupakan dampak negatif pengangguran terhadap individu yang mengalaminya dan terhadap masyarakat pada umumnya:

§ Pengangguran dapat menghilangkan mata pencaharian

§ Pengangguran dapat menghilangkan ketrampilan

§ Pengangguran akan menimbulkan ketidakstabilan social politik.

IV. KEBIJAKAN – KEBIJAKAN PENGANGGURAN

Adanya bermacam-macam pengangguran membutuh-kan cara-cara mengatasinya yang disesuaikan dengan jenis pengangguran yang terjadi, yaitu sbb :

v Cara Mengatasi Pengangguran Struktural

Untuk mengatasi pengangguran jenis ini, cara yang digunakan adalah :

1. Peningkatan mobilitas modal dan tenaga kerja

2. Segera memindahkan kelebihan tenaga kerja dari tempat dan sector yang kelebihan ke tempat dan sector ekonomi yang kekurangan

3. Mengadakan pelatihan tenaga kerja untuk mengisi formasi kesempatan (lowongan) kerja yang kosong, dan

4. Segera mendirikan industri padat karya di wilayah yang mengalami pengangguran.

v Cara Mengatasi Pengangguran Friksional

Untuk mengatasi pengangguran secara umum antara lain dapat digunakan cara-cara sbb:

1. Perluasan kesempatan kerja dengan cara mendirikan industri-industri baru, terutama yang bersifat padat karya

2. Deregulasi dan Debirokratisasi di berbagai bidang industri untuk merangsang timbulnya investasi baru

3. Menggalakkan pengembangan sector Informal, seperti home indiustri

4. Menggalakkan program transmigrasi untuk me-nyerap tenaga kerja di sector agraris dan sector formal lainnya

5. Pembukaan proyek-proyek umum oleh peme-rintah, seperti pembangunan jembatan, jalan raya, PLTU, PLTA, dan lain-lain sehingga bisa menyerap tenaga kerja secara langsung maupun untuk merangsang investasi baru dari kalangan swasta.

v Cara Mengatasi Pengangguran Musiman.

Jenis pengangguran ini bisa diatasi dengan cara :

1. Pemberian informasi yang cepat jika ada lowongan kerja di sector lain, dan

2. Melakukan pelatihan di bidang keterampilan lain untuk memanfaatkan waktu ketika menunggu musim tertentu.

v Cara mengatasi Pengangguran Siklus

Untuk mengatasi pengangguran jenis ini adalah :

1. Mengarahkan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa, dan

2. Meningkatkan daya beli Masyarakat.

B. KEMISKINAN

Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan (poverty line) merupakan dua masalah besar di banyak negara-negara berkembang (LDCs), tidak terkecuali di Indonesia.

I. JENIS-JENIS KEMISKINAN DAN DEFINISINYA

Besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan. Konsep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut

v Kemiskinan relatif adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya dapat didefinisikan didalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud.

v Kemiskinan absolut adalah derajat kemiskinan dibawah, dimana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi.

II. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN

Tidak sulit mencari faktor-faktor penyebab kemiskinan, tetapi dari faktor-faktor tersebut sangat sulit memastikan mana yang merupakan penyebab sebenarnya serta mana yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perubahan kemiskinan

§ Tingkat dan laju pertumbuhan output

§ Tingkat upah neto

§ Distribusi pendapatan

§ Kesempatan kerja

§ Tingkat inflasi

§ Pajak dan subsidi

§ Investasi

§ Alokasi serta kualitas SDA

§ Ketersediaan fasilitas umum

§ Penggunaan teknologi

§ Tingkat dan jenis pendidikan

§ Kondisi fisik dan alam

§ Politik

§ Bencana alam

§ Peperangan

III. KEBIJAKAN ANTIKEMISKINAN

Untuk menghilangkan atau mengurangi kemiskinan di tanah air diperlukan suatu strategi dan bentuk intervensi yang tepat, dalam arti cost effectiveness-nya tinggi.

Ada tiga pilar utama strategi pengurangan kemiskinan, yakni :

1. pertumuhan ekonomi yang berkelanjutan dan yang prokemiskinan

2. Pemerintahan yang baik (good governance)

3. Pembangunan sosial

Untuk mendukung strategi tersebut diperlukan intervensi-intervensi pemerintah yang sesuai dengan sasaran atau tujuan yang bila di bagi menurut waktu yaitu :

a. Intervensi jangka pendek, terutama pembangunan sektor pertanian dan ekonomi pedesaan

b. Intervensi jangka menengah dan panjang

o Pembangunan sektor swasta

o Kerjasama regional

o APBN dan administrasi

o Desentralisasi

o Pendidikan dan Kesehatan

o Penyediaan air bersih dan Pembangunan perkotaan