Membaca Keadaan
Membaca Keadaan
Dua sampai lima tahun lalu, siapa yang menolak kalau dikatakan dangdut berposisi di pojok dan dipandang sebelah mata atau dikesankan sebagai musik kampungan. Akibat pandangan ini tidak sedikit penyanyi dangdut yang terpaksa menutupi identitasnya. Beberapa stasiun televisi pun masih enggan menyiarkan musik-musik dangdut. Tetapi siapa yang menyangka kalau musik ini sekarang justru menjadi hiburan andalan. Sejumlah penyanyi dangdut mengaku kewalahan meladeni order manggung. Tidak hanya itu, penyanyi-penyanyi dari aliran musik lain pun ikut alih profesi ke musik dangdut. Bahkan saat ini hampir setiap malam hiburan dangdut ditayangkan secara ‘live’ oleh beberapa stasiun televisi.
Dari komentar yang sedang berkembang di media atau pembicaraan antar pribadi diperoleh kesimpulan bahwa kesuksesan musik dangdut ini tidak lepas dari ‘blessing in disguise’ krisis moneter yang berubah menjadi krisis multidimensi. Karena krisis yang terus menambah jumlah pawai tanda tanya, masyarakat merasa butuh hiburan yang seirama dengan suasana hati dan suasana keadaan. Benar atau salah logika yang digunakan untuk berkomentar tidaklah sepenting fakta alamiah bahwa kesuksesan dangdut tidak lepas dari upaya sebagian kecil orang dalam membaca keadaan, “See the need and fill it”. Contoh yang paling aktual dan sensasional adalah fenomena goyang "ngebor" Inul Daratista. Terlepas dari pendapat pro dan kontra di seputar goyang ngebor yang ditampilkannya, Inul telah berhasil membaca keadaan sehingga telah membuatnya kerepotan untuk memenuhi permintaan (baca: order) manggung baik dari stasiun televisi maupun masyarakat umum.
The Law of Reading
Keadaan eksternal yang diinformasikan oleh media atau jaringan personal digambarkan oleh Trevor Bently ( dalam Creativity; McGraw –Hill: 1997) dalam bentuk tulisan berikut:
“THEOPPORTUNITYISNOWHERE”
Untuk membaca dengan benar tulisan di atas dibutuhkan penguasaan bahasa yang meliputi tata bahasa, kalimat dan kata agar persepsi yang diperoleh tidak salah atau tidak bertentangan dengan apa yang dibutuhkan oleh keadaan. Orang boleh membaca "The Opportunity Is No Where" yang berarti bahwa persepsi orang tentang keadaan eksternal adalah krisis yang sama sekali tidak menyimpan peluang atau solusi. Memperhatikan kenyataan di lapangan ternyata jumlah pembaca kelompok ini bisa dikatakan dominan. Sebabnya tidak lain adalah penguasaan bahasa dan tata bahasa keadaan yang minim sehingga gagal menyusun partikulasi kalimat keadaan.
Sebaliknya orang juga bisa memilih untuk membaca "The Opportunity Is Now Here" yang artinya peluang atau solusi itu ada di balik krisis asalkan bisa membacanya dengan jeli. Inilah sebenarnya yang dilihat oleh Inul dan teamnya. Ironisnya jumlah pembaca kelompok ini hanya sedikit. Padahal hampir semua orang menginginkan pilihan bacaan kedua ini tetapi prakteknya justru berbalik memilih yang pertama.
Itulah gambara bahwa satu tulisan yang disusun dengan jumlah karakter yang sama dapat dibaca dengan dua model bacaan yang menghasilkan dua persepsi yang berbeda. Kalau sudah sampai ke perbedaan persepsi berarti akan menghasilkan sikap mental yang berbeda yang berarti juga akan membuat tindakan hidup tidak sama. Oleh karena itu membaca merupakan instruksi kemanusiaan yang pertama kali dikeluarkan. Sebab membaca merupakan pintu tunggal bagi kita untuk mengetahui sesuatu di samping membaca juga akan mendorong untuk memilih bagaimana membaca dengan benar sehingga menghasilkan kesimpulan yang diharapkan. Atas dasar ini, membaca berarti punya tingkatannya sendiri.
Kalau dikelompokkan, kemampuan orang dalam membaca keadaan dapat digolongkan menjadi dua yaitu:
Kemampuan membaca Tangible materials (materi yang bisa dilihat dan disentuh)
Kemampuan membaca Intangible materials (materi yang tidak kasat mata dan tidak dapat tersentuh)
Membaca materi yang bisa disentuh oleh indera fisik dapat dilakukan oleh sebagian besar manusia dan memang inilah jalan yang harus ditempuh lebih dulu sebelum mengasah kemampuan untuk membaca materi yang tidak bisa disentuh atau tidak tertulis. Dan rasanya kebutuhan pengetahuan yang diperoleh dari materi tangible sudah bisa dipenuhi oleh hampir semua orang dari semua tingkatan.
Tetapi kebutuhan untuk mendapatkan pengetahuan yang diperoleh dari materi intangible dapat dikatakan baru dipenuhi oleh sebagian kecil orang. Padahal kalau dilihat bagaimana dunia bekerja, materi yang intangible justru sering menjadi faktor-penentu yang membedakan antara ada peluang atau tidak ada peluang di balik situasi yang berkembang. Atau dengan kata lain ada ‘hidden connecting’ (hubungan terselubung) yang menghubungkan antara satu obyek dengan obyek lain dan berpengaruh kuat terhadap kualitas keputusan hidup dalam hal identifikasi persoalan dan tindakan solusi.
Identifikasi masalah yang dihasilkan dari membaca intangible material dan hidden connecting akan mengarah pada penemuan fakta optimal yang berbeda dari kebanyakan orang yang mendasarkan keputusan hidupnya pada ‘personal feeling’ (perasaan pribadi) atau ‘rule of habit’ (kebiasaan) masa lalu. Dengan fakta optimal yang diperoleh maka bentuk partikulasi persoalan menjadi jelas dan mudah untuk dirumuskan skala prioritas penyelesaiannya. Pada tingkat tindakan, keputusan yang didasarkan pada fakta optimal kemungkinan besar akan menjadi akhir dari masalah yang bisa berarti peluang. Kalau tidak bisa langsung menjadi peluang, sedikitnya keputusan itu menjadi tindakan penyelamat darurat, tindakan adaptive atau tindakan korektif dari keadaan. Ini berbeda dengan keputusan yang semata didasarkan pada personal feeling atau rule of habit masa lalu yang lebih banyak menggunakan senjata kayu: mematahkan atau dipatahkan. Padahal mematahkan bukan akhir dari persoalan begitu juga dipatahkan.
Pembelajaran Diri
Membaca adalah kunci bagaimana kita mempersepsikan keadaan yang telah diinformasikan oleh media atau melalui jaringan personal. Tetapi membaca hanya untuk membaca dalam arti aktivitas dapat dikatakan masih belum memenuhi tujuan dari panggilan instruksi hidup pertama itu. Bahkan para pakar sudah sejak lama mengingatkan munculnya wabah yang bernama "information over-load" – suatu 'penyakit' di mana kepala manusia dipenuhi oleh informasi tentang keadaan makro yang tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan keadaan mikro. Dengan perkembangan yang pesat dari penyedia informasi yang menjajakan pilihan persepsi keadaan, maka akan sangat mungkin wabah tersebut akan kian merajalela.
Kemampuan membaca harus ditajamkan dengan pembelajaran-diri dalam arti membaca untuk menciptakan peluang yang lebih bagus dari tujuan hidup, terutama sekali peluang untuk perbaikan pada wilayah sentral: kesehatan fisik, kemakmuran finansial, kehormatan status sosial, kepiawaian profesionalitas, kematangan mental, keseimbangan emosional, atau keluhuran moralitas. Tahapan untuk menajamkan kemampuan membaca dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.Pengetahuan
Semua yang dibaca orang bisa dikatakan secara take for granted sudah memenuhi kepentingan untuk mengetahui sesuatu; membaca untuk mengetahui. Pengetahuan adalah kesimpulan asumsi atau dugaan yang telah diverifikasi oleh orang atau lembaga yang berwenang dengan berpedoman pada pendekatan Generally Applicable yang disusun berdasarkan latarbelakang persoalan makro. Atas dasar ini pengetahuan tidak lepas dari kepentingan lembaga atau orang dalam arti menurut ‘versi’. Artinya pengetahuan baru berbicara pada kebenaran dalam arti folk wisdom atau tatanan umum.
Dengan berpedoman bahwa manusia diberi jalan hidup melalui business of selling, maka secara pengetahuan semua yang ada di dalam, di luar, samping kiri-kanan atau depan belakang seseorang dapat dibisniskan. Tetapi prakteknya tidak cukup hanya berpedoman pengetahuan itu. Dengan kata lain, pengetahuan adalah raw material of power seperti pisau. Pengetahuan hanya untuk pengetahuan sudah dibuktikan tidak bekerja, mandul, dan supaya bisa bekerja maka pengetahuan membutuhkan mobilisasi.
2.Pemahaman
Memobilasi pengetahuan dapat diartikan dengan menciptakan pemahaman pribadi atau sudut pandang. Dari perumpamaan susunan kalimat “Theopportunityisnowhere” saja bisa menghasilkan sekian model bacaan yang akan menjadi sekian sudut pandang dan sudah jelas akan menjadi bahan keputusan untuk bertindak. Dalam hal ini menciptakan pemahaman adalah bagaimana anda merefleksikan pengetahuan yang sifatnya ‘generally applicable’ di atas menjadi ‘specifically applicable’ dengan setting persoalan mikro: anda dengan wilayah operasi dan konsentrasi.
Pemahaman inilah yang akan menikahkan antara apa yang anda ketahui dari materi tangible dan materi intangible yang bekerja di lapangan. Orang sering merasa bahwa pengetahuannya tidak berguna karena tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan padahal yang belum diperoleh adalah pemahaman. Logikanya, bagaimana mungkin buku yang dikarang di luar negeri oleh orang luar negeri dengan tatanan latarbelakang persoalan yang berbeda secara ruang dan waktu lalu diterapkan tanpa proses pengolahan lebih lanjut di meja kerja. Tetapi perlu diakui bahwa pemahaman anda tentang sesuatu baru berupa kreasi internal dan belum dapat dikatakan prestasi. Supaya pemahaman anda menjadi dasar prestasi, maka jadikan pemahaman anda sebagai materi tindakan sebab tindakan adalah prestasi hidup pertama kali.
3.Penghakiman
Membaca keadaan harus berakhir dengan penghakiman, eksekusi atau keputusan untuk bertindak. Intinya adalah eksekusi tindakan untuk menciptakan prestasi. Sebagai hakim anda mengetuk palu keputusan atas keabsahan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahaman anda. Seorang hakim yang menjalankan keputusan dan ternyata keputusan itu salah maka ia sudah mendapat reward satu kali dari hukum alam dan mendapat reward dua kali apabila keputusan itu benar. Sebaliknya hakim yang tidak menjalankan keputusannya meskipun keputusan itu benar maka ia telah dihakimi salah oleh hukum alam.
Melihat kenyataan bagaimana orang membaca keadaan bisa diperoleh kesimpulan seperti orang menggambar piramida; makin ke atas makin sedikit. Sebagian besar orang tahu bahwa krisis adalah sesuatu yang tidak enak namun hanya sebagian kecil yang memahami bahwa di balik krisis terdapat peluang, dan hanya sedikit sekali, bahkan bisa disebut pengecualian, yang mengambil eksekusi untuk berani bertindak. Kalau dibanding jumlah penduduk yang melebihi 200 juta jiwa, bisa anda hitung berapa persen yang mampu membaca “The Opportunity Is Now Here”. Berada dalam kelompok manakah anda saat ini? Semoga berguna. (jp)
Mengelola Khayalan
Mengelola Khayalan
Salah satu kontradiksi dalam sistem kehidupan sosial kita adalah adanya sikap "looking down" terhadap khayalan seseorang untuk "Menjadi" atau "Memiliki". Kalau anda sering mengkhayal apalagi yang dipandang lingkungan terlalu muluk, lama kelamaan akan dicap pelaku dosa sosial sambil diumpat dengan kata-kata terlalu idealis, khayalis, dan tidak realistis. Anehnya, di bagian lain sistem sosial kita malah memberi kesempatan sebesar-besarnya untuk berkhayal. Lihat saja misalnya di bandara, stasiun kereta, atau tempat antrian umum. Kalau ada seribu orang mungkin tidak lebih dari hitungan jari yang menggunakan waktu menunggu untuk membaca. Sisanya mengkhayal atau ngobrol nggak karuan.
Kalau ditelusuri asal-usulnya khayalan merupakan anak dari imajinasi di mana para orang sukses telah menggunakannya untuk menyelesaikan masalah mulai dari bisnis, profesi, dan lain-lain. Imajinasi adalah kecerdasan yang dianugerahkan dalam bentuk hiburan yang menyenangkan. Dikatakan hiburan karena imajinasi akan membebaskan pikiran dari kebrutalan (unfairness) realitas temporer. Dan mengapa dikatakan kecerdasan, karena dari imajinasilah semua ide kreatif dan gagasan inspiratif berproses pertama kali.
Sebagai anak dari imajinasi berarti kebiasaan mengkhayal tidak perlu diberantas melainkan perlu dibina dan dikelola secara tepat agar tidak menjadi makhluk mental yang liar. Selain itu, kalau kita kembalikan pada fakta kontradiktif di atas, sebenarnya sistem sosial kita hanya menolak khayalan yang liar dan menerima khayalan yang tidak liar. Seperti apakah perbedaan keduanya?
Khayalan Liar
Di antara sekian ciri khas khayalan liar adalah bahwa khayalan liar tidak memiliki hubungan keterkaitan (interconnectedness) antara apa yang kita lakukan di masa lalu, masa sekarang dan masa depan yang kita khayalkan. Umumnya kita mengkhayal tentang suatu wilayah yang sama sekali tidak dipahami oleh pikiran mental. Padahal semestinya khayalan kita berupa penjelasan ideal dari apa yang kita lakukan hari ini atau cita-cita masa lalu yang bagiannya sudah pernah kita sentuh.
Ciri khas berikutnya, khayalan liar tidak memiliki rincian yang jelas (clarity) sehingga khayalan tersebut berisi peristiwa yang terpisah (split) dan tidak memiliki relevansi secara rasional antara peristiwa satu dan lainnya. Khayalan demikian bertentangan dengan hukum alam (sebab-akibat). Padahal kalau kita mengkhayalkan suatu peristiwa ideal, khayalkan juga sebab-sebab yang paling mungkin bisa mengarah untuk menciptakan peristiwa tersebut.
Untuk mengkhayal menjadi pebisnis yang sukses, jangan mengkhayalkan jumlah kekayaan semata yang saat ini tidak kita miliki atau mengkhayalkan perilaku fisik yang tampak di luar tetapi khayalkanlah kondisi kualitas software seperti isi pikiran, isi pembicaraan, isi mental, dll. Rata-rata orang yang telah sukes di bidangnya punya keunikan kualitatif, misalnya percaya diri yang tinggi, gaya berbicara yang meyakinkan, disiplin waktu dan seterusnya.
Ciri khas lain, khayalan liar biasanya menggambarkan peristiwa hidup yang "enak-enak" di mana kita pun tidak meyakini sepenuhnya akan terjadi pada diri kita. Atau hanya berupa peristiwa yang terjadi di level "seandainya nanti". Kalau dipukul rata khayalan demikian lebih banyak berisi pengandaian "memiliki". Mestinya kita menghayal tentang hal-hal yang enak dan berisi pengandaian "menjadi". Khayalan untuk memiliki lebih sering tidak mempunyai padanan fisiknya dengan apa yang kita lakukan hari ini. Berbeda kalau kita mengkhayal untuk menjadi. Pasti dapat ditemukan bagian tertentu yang bisa kita lakukan dari mulai sekarang. Kata kunci yang membedakan adalah sekarang versus nanti.
Dampak
Aktivitas khayalan liar di dalam diri sebenarnya telah banyak membuat kita rugi. Kerugian yang sudah pasti adalah waktu dan energi padahal pada saat yang sama ada pilihan lain yang menguntungkan yaitu berpikir, berimajinasi dan bervisualisasi. Perbedaannya hanya karena faktor memilih bidang konsentrasi yang berlokasi di wilayah internal dan sama-sama gratis.
Kerugian berikutnya, kalau apa yang kita khayalkan berisi materi negatif yang menyangkut diri kita atau mengkhayalkan sesuatu terjadi lebih buruk atas orang lain tanpa alasan yang kokoh. Khayalan negatif punya daya tarik lebih kuat dan biasanya tanpa harus repot "to make it happens" sudah muncul apalagi dikhayalkan. Demikian juga dengan khayalan atas orang lain. Tanpa alasan yang jelas bisa jadi apa yang kita khayalkan dapat berbalik menimpa diri kita. Banyak peristiwa atau kiamat kecil yang muncul seakan-akan tanpa sebab, padahal peristiwa itu pernah terlintas dalam khayalan kita yang tidak diingat kapan tanggalnya.
Kerugian lain adalah berupa kualitas mental. Khayalan yang tidak memiliki akses ke sumber kehendak (khayalan memiliki yang enak-enak) bisa membikin orang malas dan lebih parahnya lagi, ketika imajinasi hendak kita gunakan untuk hal-hal yang penting dan bernilai bagi kita, kemampuan tersebut tidak bisa bekerja hanya karena kurang dibiasakan. Analoginya seperti pikiran. Kalau jarang kita pakai untuk menalar tidak berarti makin awet dan kuat tetapi makin rusak/tumpul.
Pengelolaan
Banyak alasan yang membuat manajemen khayalan dibutuhkan. Salah satunya, manajemen itu hanya berfungsi sebatas mengatur pilihan arah konsentrasi dan tidak membutuhkan sesuatu yang tidak kita miliki di samping juga, manajemen tidak akan membuat kita kehilangan apapun. Malah sebaliknya, dengan manajemen ini kita akan mendapatkan keuntungan.
Keuntungan paling besar adalah peristiwa yang kita ciptakan di alam khayalan dapat ditransfer menjadi materi visualisasi kreatif tentang cita-cita yang sudah kita rumuskan dalam tujuan ideal atau visualisasi target aktual. Kalau kita kembalikan ke definisi yang telah disusun para pakar, visualisasi adalah praktek melihat potret masa depan dengan penglihatan imajinasi. Karya besar itu, kata orang, tidak diciptakan langsung secara fisik tetapi dilihat. Apa yang sudah diciptakan orang sebenarnya hanyalah menjalani apa yang sudah dilihat di dalam alam imajinasinya.
Keuntungan lain adalah aktivitasi Otak Kanan dan Otak Kiri secara sadar. Patut kita akui selama ini hampir sebagian besar dari kita telah dicetek oleh kebiasaan menggunakan Otak Kiri mulai dari sistem sosial, sistem pendidikan dan pembelajaran hidup yang kita lakukan. Akibatnya Otak Kanan akan protes. Dampak negatif dari aksi protes tersebut adalah konflik (tabrakan) di tingkat cara kerja otak. Dengan demikian akan memperpanjang proses realisasi atau malah menjadi buyar. Kalau belajar dari kisah orang sukses di manapun berada termasuk dari orang dekat yang kita kenal, umumnya mereka terdidik untuk menggunakan fungsi kedua belahan otak tersebut. Leonardo De Vinci selain seorang seniman besar (artistic) juga seorang yang ahli bidang hitung-menghitung bisnis.
Pertanyaannya sekarang, dari mana kita mulai? Khayalan yang kita gunakan untuk memvisualisasikan tujuan ideal (cita-cita) jelas menuntut upaya merumuskan tujuan hidup seperti yang sudah diajarkan ilmu pengetahuan. Sebagaimana pernah saya jelaskan dalam tulisan yang lalu, acuan merumuskan tujuan hidup bisa menggunakan formula SMART (specific, measurable, attainable, relevant dan timescale). Formula apapun yang kita anut, intinya tujuan hidup yang kita ambil dari percikan / keseluruhan cita-cita saat masih kecil harus dapat direkam / dipotret oleh pikiran secara jelas (apa, bagaimana, kapan, mengapa, dll). Khayalan di sini berfungsi untuk memperjelas dan membuat semakin jelas, mengingat konsentrasi / fokus kita pada tujuan hidup sering terganggu oleh tawaran atau godaan yang kita setujui.
Adapun khayalan yang kita gunakan untuk memvisualisasi target aktual (apa yang bisa kita raih) hanya membutuhkan organisasi materi pekerjaan. Khayalan berfungsi untuk meneteskan gagasan atau ide kreatif bagaimana pekerjaan tersebut pada akhirnya diselesaikan. Praktek sering menunjukkan pekerjaan yang diselesaikan dengan gerakan fisik tanpa sentuhan ide hanya selesai dengan pekerjaan (capek, lelah dan membosankan).Robert Kiyosaki, dalam berbagai ceramahnya di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, selalu mengulangi ucapannya bahwa kemakmuran finansial (uang) tidak bersembunyi di dalam pekerjaan tetapi berada di alam gagasan, ide atau inspirasi. Pendapat ini klop dengan ajaran agama yang mengatakan bahwa sembilan dari sepuluh pintu rizki (uang) diperoleh dari perdagangan. Tentu bukan anjuran menjadi pedagang di pinggir jalan tetapi bagaimana menyentuh pekerjaan dengan gagasan kreatif yang menjadi soko guru untung-rugi perdagangan.
Aplikasi manajemen bagi khayalan menuntut disiplin dan evaluasi. Untuk menaati disiplin dalam bervisualisasi dapat dilakukan di mana saja tanpa mengganggu rutinas. Idealnya, kita perlu memiliki waktu khusus yang telah kita beri label untuk bervisualisasi secara rutin supaya mudah bagi kita untuk mengevalusi keterkaitan antara materi khayalan kemarin dan hari ini.
Realisasi
Untuk menjadikan khayalan sebagai materi visualisasi menuntut model mental yang menempatkan materi tersebut sebagai pembelajaran diri atau materi "self education". Beberapa saran berikut mungkin dapat kita jadikan acuan menapaki proses realisasi khayalan.
1.Jangan malas
Sebagaimana sudah disinggung breaking-down dari keseluruhan peristiwa ideal yang kita khayalkan harus berupa aktivitas yang paling mungkin untuk dilakukan sekarang. Asumsi demikian sudah klop dengan temuan teori pengetahuan fisika bahwa semua peristiwa di dunia ini tidak ada yang berdiri sendiri melainkan kemenyeluruhan yang dibentuk oleh fregmentasi partikel. Seorang karyawan yang mengkhayal menjadi direktur tertinggi di perusahaan tempat ia bekerja dapat memulai khayalan dengan memahami art atau science yang berlalu lalang di kantor dan gratis untuk dipelajari. Apa yang sering membuat kita gagal adalah penghalang (pagar mental) yang kita ciptakan sendiri dan kita yakini pagar tersebut tercipta oleh kekuatan di luar diri kita. Pagar tersebut adalah rasa malas untuk memulai melakukan dengan berbagai alasan yang sudah kita yakini benar, tentunya.
2.Jangan takut
Selain membutuhkan perlawanan terhadap kemalasan, merealisasikan khayalan juga perlu melawan rasa takut. Umumnya khayalan yang sulit direalisasikan bukan karena terlalu muluk tetapi terlalu rendah, tidak jelas dan takut kita yakini benar-benar terjadi. Padahal kalau dipikir, risiko paling fatal dari sebuah khayalan adalah tidak terjadi apa-apa kecuali khayalan kita lebih rendah dari harapan atau tujuan.
3.Jangan malu
Dalam sistem sosial yang sedemikian kontradiktif, umumnya terjadi perlakuan bahwa kalau ada orang gagal menjalankan gagasannya maka orang itulah yang pantas malu, apalagi jika ia pernah melontarkan khayalan tentang cita-cita. Treatmen demikian sebenarnya adalah refleksi dari diri kita. Perlu kita ingat, sebagian besar dari derita rasa malu yang kita rasakan tidak diciptakan oleh persepsi orang lain tentang kita tetapi diciptakan oleh persepsi kita tentang sosok kita yang memalukan menurut persepsi kita. Sementara orang lain adem-adem saja. Meskipun demikian ada siasat yang diajarkan dari sejak dahulu kala yaitu jangan mudah obral khayalan kecuali pada orang, moment dan bidang tertentu.
Kalau kita pikir ulang, menjalani aktivitas mengkhayal sebenarnya adalah bentuk dari kepatuhan kita terhadap adanya hukum "possibility & opportunity". Sayangnya kitalah yang sering meyakini (menukar) possibility tersebut dengan impossibility (kemustahilan) dan opportunity dengan ancaman atau kepastian. Dengan tulisan ini mudaha-mudahan anda menyadari hal itu. Semoga berguna. (jp)
Modal Menjadi Pengusaha
Modal Menjadi Pengusaha
Dua Modal Utama
Menjelang tahun baru kemarin, saya pernah menerima email dari seseorang yang isinya kira-kira begini:
Pak, saya agak bingung menghadapi tahun 2006 ini. Seringkali saya sudah merasa bosan pada pekerjaan sekarang ini. Pekerjaannya itu saja-saja, gajinya segitu-gitu aja, dan suasana kerjanya sudah tidak menarik lagi buat saya. Rasanya, langkah saya sudah menthok sampai di sini bila saya memilih untuk terus bekerja di tempat kerja sekarang ini. Obsesi saya saat ini adalah ingin punya usaha sendiri. Cuma saja, saya belum tahu usaha apa yang cocok dengan saya. Ada kawan yang mengajak mendirikan perusahaan kecil-kecilan secara patungan dengan modal senilai harga motor yang saya miliki. Saya ingin meng-iya-kan ajakan itu. Tetapi terkadang saya takut seperti kawan saya yang lain. Awalnya sih ingin punya usaha sendiri tetapi karena bangkrut, akhirnya menjadi karyawan lagi, menulis surat lamaran lagi, menunggu panggilan lagi. Dengan asumsi adanya peningkatan gelombang PHK akibat kenaikan BBM dan lain-lain, mencari pekerjaan baru lagi bukan soal yang mudah kan, Pak . . . . ?
Saya yakin di dunia ini ada banyak orang yang menghadapi masalah antara kebosanan dan kebimbangan semacam itu, meski detail-detailnya berbeda. Kita sudah bosan dengan pekerjaan kita saat ini tetapi di sisi lain kita belum benar-benar punya kejelasan langkah (determination) yang utuh di kepala tentang pilihan yang baru. Lantas, apa yang harus kita lakukan?
Antara penting dan utama
Penting manakah modal tangible dan modal intangible? Kalau pertanyaannya adalah penting mana, tentu harus dijawab keduanya penting. Berusaha butuh modal material – finansial seperti halnya juga butuh modal akal (intangible). Tetapi jika pertanyaannya adalah, manakah yang harus diutamakan lebih dulu, maka pengalaman sejumlah pengusaha dan kesimpulan pakar di bidang usaha, mengatakan bahwa modal intangible harus lebih dulu diutamakan.
Tidak saja Henri Ford yang mengakui ini. Pak Bob Sadino, Pak Cik, dan Bu Martha Tilar, rupanya juga kesimpulan yang sama. “Banyak sekali orang yang menerjemahkan modal dengan uang atau benda-benda. Sebetulnya dari pengalaman saya, modal intangible itu awal yang nantinya diikuti oleh modal tangible”, jelas Pak Bob (majalah Manajemen, April, 2003)
Apa yang dikatakan Pak Bob itu rupanya memiliki esensi yang sama dengan kesimpulan George Torok. (George Torok,The Yukon Spirit: Nurturing Entrepreneurs ,www.torok.com).Torok yang banyak melakukan penelitian terhadap kehidupan para pengusaha menyimpulkan bahwa tidak semua orang yang punya modal tangible bisa disebut pengusaha. Bisa saja mereka menjadi pengusaha dalam waktu seminggu sebulan atau beberapa bulan ke depan tetapi selebihnya mereka bukan lagi pengusaha. Menurut Torok, modal intangible yang dibutuhkan untuk menjadi pengusaha adalah:
§ Memiliki dorongan batin yang kuat untuk maju (personal drive)
§ Memiliki fokus yang tajam tentang apa yang dilakukanya dan kemana dia akan membawa usahanya (focus)
§ Memiliki kemampuan yang kuat untuk berinovasi (produk, sistem, cara, metode, service, dst)
§ Memiliki sikap mental “Saya bisa” (The I can mental attitude) dalam menghadapi persoalan-persoalan yang kedatangannya seperti tamu tak diundang
§ Memiliki kemandirian dalam mengambil keputusan (berdasarkan pengetahuan, pengalaman, skill, intuisi, dan akal sehatnya)
§ Memiliki kemampuan untuk “tampil beda” atau memunculkan keunggulan-keunggulan (kreatif)
Mengapa harus lebih dulu diutamakan? Saya tidak tahu alasan spiritual-mistikal yang mengilhami para pengusaha itu berkesimpulan demikian. Tetapi secara logika, ada sedikitnya dua alasan yang bisa kita pahami:
Pertama, seandainya kita punya modal tangible yang bagus tetapi kita tidak memiliki modal intangible yang bagus, maka modal tangible kita bukan malah akan bertambah. Modal itu akan berkurang dan bahkan bukan tidak mungkin akan ludes. Contoh-contohnya sudah seabrek di sekeliling kita. Tetapi seandainya kita punya modal intangible yang bagus sementara kita tidak memiliki modal tangible yang berlimpah, ini masih bisa diatasi. Sudah banyak kita saksikan pengusaha yang mengawali usahanya dengan modal yang sedikit atau pas-pasan bahkan kurang (istilahnya modal dengkul), tetapi karena ulet, kreatif, tekun, dan punya jaringan yang luas, akhirnya usaha itu mengalami kemajuan yang menggembirakan.
Kedua, keahlian tidak bisa dibeli atau tidak bisa dipinjam dari orang lain. “You cannot buy the skill to be great”. Uang bisa dipinjam, gedung bisa disewa atau boleh numpang sementara, produk bisa ‘nge-sub’ tetapi keahlian menjalankan bisnis, tentu tak mengenal istil beli, pinjam, apalagi ngesub atau numpang. Kalau Anda tidak bisa atau tidak ahli, maka buktinya langsung nyata dalam bentuk antara lain: gagal, rugi, tidak efektif, tidak efisien, tidak untung, dan lain-lain.
Ada kebenaran umum (folk wisdom) yang terkadang lupa kita pikirkan secara masak. Kita sering mendengar ada orang mengatakan, “Orang ahli kan bisa dibeli. Apa susahnya kita merekrut sarjana ahli lalu kita gaji untuk menjalankan bisnis kemudian kita tinggal menerima untungnya saja …. “. Kebenaran umum seperti ini memang benar tetapi prakteknya tidak benar bagi semua orang. Bagi mereka yang sudah ahli dalam me-manage manusia, kebenaran umum ini benar. Tetapi bagi yang belum punya keahlian dalam hal “managing people”, seringkali kebenaran umum itu belum benar di lapangan. Belum benar di sini artinya rencana kita gagal karena kita tidak memiliki keahlian yang memadai dengan masalah yang kita hadapi.
Kesimpulannya, menerjuni usaha di bidang apapun memang butuh uang, butuh dana, butuh fasilitas, butuh materi. Modal tangible seperti ini wajib hukumnya. Tetapi, memiliki modal tangible yang memadai belum dapat menjamin kelangsungan usaha. Untuk poin yang terakhir ini lebih banyak ditentukan oleh modal intangible yang kita miliki. Modal intangible di sini adalah “kualitas SDM” kita yang sesuai dengan bidang usaha yang kita geluti. Modal yang terakhir inilah yang akan menentukan apakah kita akan menjadi pengusaha sebulan atau seumur hidup.
Memang benar bahwa yang diinginkan oleh semua orang adalah memiliki modal tangible yang berlimpah (punya cadangan uang cash berlipat, punya fasilitas kerja yang lengkap, dan punya kantor yang representatif) dan juga modal intangible yang bagus (punya kemampuan berbisnis yang handal, punya kemampuan mengolah produk yang bagus, punya kemampuan memasarkan produk yang jitu, punya kemampuan membina jaringan yang kokoh, dan lain-lain).Cuma saja, keadaan ideal itu sangat jarang terjadi.
Tak hanya itu, memiliki modal tangible yang bagus dan memiliki modal intangible yang bagus pula, biasanya terjadi sebagai akibat dari sebuah sebab, atau sebagai sebuah hasil dari sebuah proses. Artinya, pengusaha yang memiliki keduanya adalah pengusaha yang sudah berhasil menjalankan usahanya, bukan orang yang baru memulai berusaha. Untuk orang yang baru memulai merintis usaha, problem umum yang dihadapi adalah problem yang muncul sebagai akibat adanya keterbatasan, antara lain: terbatas modalnya, terbatas SDM-nya, terbatas, materinya, terbatas fasilitasnya, terbatas dalam mengantisipasi perubahan, terbatas pelanggannya, dan lain-lain. Karena itulah, maka modal intangible jauh lebih perlu didahulukan.
STREET SMART
Ada dilema tersendiri yang harus dihadapi oleh calon pengusaha pemula. Kalau ia batalkan keinginannya untuk menjadi pengusaha karena takut resiko, takut pada berbagai kemungkinan buruk, tentu saja ia tidak akan pernah menjadi pengusaha atau tidak akan pernah paham seluk beluk memulai usaha. Tetapi, bila ia terus nekad untuk menjadi pengusaha dengan modal pas-pasan, tidak berarti ini akan ada jaminan berhasil. Gagal dalam arti “tembakan kita meleset” tentu ini biasa dalam usaha. Tetapi gagal dalam arti kehabisan peluru, kehilangan sumber penghasilan, menanggung hutang, kehilangan pekerjaan, tentu ini beda efeknya bagi kita.
Jadi, bagaimana berkelit dari dilema yang sulit seperti ini? Kalau dijawab dengan kata-kata, mungkin tidak akan habis kita menulisnya dengan tinta air laut. Ada sekian jawaban, ada sekian alternatif, dan ada sekian opsi. Sebagai tambahan dari jawaban yang sudah kita miliki, saya ingin mengingatkan satu istilah yang sangat populer di dunia usaha. Istilah itu adalah street smart. Menurut pengertian yang lazim dipahami, street smart artinya cerdas di lapangan. Gambaran aplikatifnya mungkin pernah dijelaskan oleh Pak Bob dalam sebuah seminar di Jakarta beberapa tahun lalu (Majalah Manajemen, April 2003):
“Cukup satu langkah awal. Ada kerikil saya singkirkan. Melangkah lagi. Bertemu duri saya sibakkan. Melangkah lagi. Terhadang lubang saya lompati. Melangkah lagi. Bertemu api saya mundur. Melangkah lagi. Berjalan terus dan mengatasi masalah.”
Street smart termasuk modal intangible yang luar biasa peranannya. Saya pernah membaca hasil survei yang menanyakan tentang sejauhmana relevansi antara latar belakang pendidikan dengan pekerjaan hari ini (ExecuNet: 2005). Hasilnya tercatat seperti berikut:
- 46 % menjawab relevansi itu sangat dekat.
- 39 % menjawab relevansi itu ada
- 15 % menjawab relevansi itu tidak ada sama sekali
- 84 % menjawab begini: "street smarts" is more important in business than an advanced degree.
Jadi, yang diperlukan dari kita adalah kecermatan, keberanian dan kesiapan. Kita perlu cermat agar terhindar dari resiko usaha yang bernama kegagalan dalam bentuk kehabisan peluru atau menanggung hutang yang berat untuk kita. Kalau bisa, maksimalnya resiko itu hanya berupa kegagalan dalam bentuk meleset sementara atau belum untung banyak. Kita perlu keberanian melawan ketakutan yang biasanya membisikkan teror: “bagaimana nanti kalau gagal”, “jangan-jangan nanti ….”, dan lain-lain. Selama ketakutan semacam itu belum bisa kita atasi, sebaiknya kita sembunyikan lebih dulu keinginan kita menjadi pengusaha. Kita juga perlu kesiapan mental untuk menumbuhkan bangkitnya kecerdasan yang bernama street smart.
semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar